Monday, May 19, 2014

Agama dan Negara

Indonesia mengakui 5 (lima) agama yang boleh dianut oleh warga negara Indonesia yaitu, Islam, Kristen (Katolik/Protestan), Budha, Hindu, Konghucu.
Saya yakin setiap pemeluk agama, akan mengatakan bahwa agamanya adalah agama yang benar. Setiap pemeluk agama memiliki ritual ibadahnya sendiri, dan membutuhkan ruang untuk melaksanakan ibadahnya. 




Setelah mengikuti program IVLP di Amerika Serikat, aku menemui agama lainnya. Ada Yahudi, ada Mormon. 
Ternyata ada agama lain selain agama yang ditemukan oleh pemerintah Indonesia ini. 
Dari seluruh jenis agama di dunia iani, lalu kenapa hanya 5 agama yang bisa dianut di Indonesia harus dibatasi oleh pemerintah?. 
Apakah karena hanya 5 agama ini yang dianggap benar?. 
Kenapa kebenaran harus ada 5?, 
kenapa tidak satu saja?. 
Atau kenapa tidak sepuluh, seratus dan seterusnya?

Saya yakin, satu-satunya alasan kenapa 5 agama tersebut yang direstui, karena kelima kelompok itulah yang ada ketika negara ini terbentuk. 
Ok...Konghucu memang termasuk paling akhir, diakui. Namun penganutnya telah banyak dan tak pernah dianggap beragama sebelum negara akhirnya menambah dari 4 agama menjadi 5 agama. 

Ketika Negara membatasi jumlah agama yang boleh dianut hanya 5, maka tentu saja, penganut agama selain yang 5 tersebut tidak boleh ada di negara tersebut, dan tidak difasilitasi oleh negera. 
Lalu apa konsekuensi, ketika negara menyatakan pembatasan jumlah agama menjadi 5?. Tentu aja negera harus merawat kelima agama tersebut tetap terjaga, tersedia fasilitasnya, terpenuhi hak-haknya. 

Bagaimana pihak penganut agama memastikan hak-haknya tetap terjaga dan terpenuhi?. maka penganut agama akan memasuki pemengang kebijakan dan mempengaruhinya sesuai dengan misi golongannya. Dan tentu saja akan terjadi tarik menarik kepentingan. 

Contoh, Kemetrian Agama selalu dipegang oleh orang Islam, dengan dalih, Islam adalah mayoritas. Kuantitas, akan mempengaruhi jumlah orang yang akan menduduki posisi penting dalam pengambilan kebijakan. Jika minoritas mendapatkan posisi penting tersebut, akan sangat mudah digembosi oleh isu sara, sepertinya akan sangat sulit, sesulit Ahok yang etnis tionghoa duduk di pemerintahan.

Lalu dimana posisi penganut kepercayaan?. Penganut kepercayaan adalah agama asli Indonesia. Banyak jenisnya dengan jumlah yang minoritas. Oleh karena itu, keberadaanya kian tersingkir, dianggap aneh dan kolot. Dikeluarga saya, penganut aliran kepercayaan ini, terpaksa berpindah keyakinan memilih salah satu agama karena ribetnya urusan administrasi negara, jika tidak memilih suatu agama. Maka terjadilah pencampuran ritual. Mereka secara administrasi negara, beragama, namun aktifitas ritualnya tetap saja menjalankan aliran kepercayaannya. Ketika meninggal, akan dimakamkan sesuai dengan agama yang dianutnya dalam administrasi negara. Aku tau betul, nenek ku yang beragama kristen di KTP itu, tak pernah baca al-kitab. 

Pembatasan agama ini, membuat peran negara sangat berpengaruh terhadap pemeluk agama. Seringkali juga agama ini dijadikan komoditas politik yang ditarik ulur sesuai kebutuhan politik negara. Seringkali yang dituduh adalah oknum, namun secara institusi negara, Negara juga tidak bersikap cepat dan tegas dalam kerusuhan antar agama yang sering memakan korban. Tak bersikap, adalah bentuk dari pemihakan. 

Ada upaya mengilangkan poin agama dalam KTP, dan banyak yang pro kontra. Yang kontra dengan klise seolah merasa dengan hilangnya data administratif itu akan menyebabkan hilangnya jumlah manusia yang beragama. Tapi begitulah Indonesia, begitu mudahnya di provokasi oleh isu agama. 

***

Sangat sulit memahami bidang kebebasan beragama dalam department state US saat diberi kesempatan berkunjung dan berdiskusi langsung dengan mereka di Washington DC. 
Amerika serikat di mata masyarakat Indonesia kadung di cap negara sekuler, dan aku sempat berfikir kalau negara sekuler tidak perlulah mengurusi agama. Tapi ternyata tidak. Amerika serikat memiliki bidang khusus yang memastikan kebebasan memeluk agama diterima oleh setiap warga negaranya. 
Jadi bedanya dengan Indonesia, Amerika tidak dengan saklek kaku membatasi 5 jenis agama yang boleh ada di negaranya. Tapi boleh agama apa saja...bahkan membuat agama sendiri. Tapi ada aturan undang-undang yang tidak boleh dilanggar oleh agama tersebut, seperti tidak boleh poligami. agama Mormon, dan agama Islam jika berpoligami, tidak boleh berada di negara ini. 

Pemerintah AS tidak mendanai dibangunnya fasilitas ibadah apapun, namun perizinan tetap disediakan, karena pemerintah AS juga dipermudah kerja-kerjanya dengan adanya kegiatan-kegiatan sosial oleh pihak lembaga agama. 
Jika membangun rumah ibadah, prosedurnya sama di setiap agama apapun, dan saat beribadah bangunan tersebut tidak boleh menganggu kenyamanan lingkungannya. Itulah sebabnya mesjid tidak boleh azan disini. Demikian gereja, tak terdengar loncengnya.

Nah...pekerjaan bidang kebebasan beragama ini adalah memastikan setiap warga negara bebas memeluk agamanya. Menarik penjelasan dari kedua penerjemah kami saat itu. Kata mereka, Amerika Serikat adalah daerah yang didatangi oleh berbagai jenis bangsa dan negera. Ada yang terusir dari daerah asalnya karena keyakinannya berbeda dengan mayoritas disana. Mereka datang berharap menciptakan dunia baru di Amerika, dunia baru yang bebas dalam menjalankan ibadah agamanya, bebas dalam berkarya, bebas dalam apapun. Dan ketika negara Amerika Serikat terbentuk, para pendirinya berharap tujuan utama mereka tetap terjaga. Karena itulah bidang Kebebasan Beragama ini menjadi penting, dan mereka promosikan ke dunia internasional. Maka tak heran, Amerika Serikat latah juga mengurusi Rohingya, konflik Syiria, dan lain-lain. Saat kunjungan kami disana, si Bapak menyatakan keprihatinannya yang lebih intens terhadap Rohingya, karena rohingya benar-benar sangat termarginalisasi, tak ada negara yang mau melindunginya. Soal Palestina...hmm..ada perdebatan cukup menarik disini, lain kali akan kuceritakan.

***

Aku jadi teringat buku Nucholis Majid dalam Islam Doktrin dan Peradaban. Disebutnya, bahwa komunis bisa disebut sebagai agama baru. Agama buatan manusia.Istilahnya saja yang berganti dengan ideologi, tapi sebenarnya pada prakteknya terdapat tipologi yang dengan agama-agama langit. Karena faktanya, ideologi tersebut punya buku (suci) yang jadi panduan, dan juga memiliki ritual-ritual dalam rangka menjaga doktrinnya tetap lestari. Komunis, sosialis, juga memiliki hal tersebut. 

Jika Komunis adalah agama, maka demokrasi pun sebenarnya agama baru bukan?. 

Di Amerika Serikat, sebagai negara yang sangat membanggakan demokrasinya, aku bisa lihat ritual-ritual yang kental tersebut. Seperti Capital building yang penuh dengan simbol rakyat. Dari ornamen hasil panen, lukisan para pejuang,  pilar-pilar, bentuk bangunan, tata kota ,semuanya demi menghayati peran rakyat. Setiap memulai pertandingan, adanya penghormatan terhadap bendera, pidato penghargaan terhadap tentara yang telah mengabdi, penghargaan klub olahraga terhadap fans clubnya. Semua adalah ritual, yang awalnya adalah bentuk penghargaan dan aktifitas untuk menghayati makna-makan sosial yang dijunjung tinggi kemudian diteruskan menjadi tradisi. 

Ya...'agama' besar Amerika Serikat adalah demokrasi, dan dibawahnya agama-agama lain diperbolehkan hidup berdampingan. Karena memang hanya 'agama' demokrasi itu lah yang mampu memberikan ruang bagi kebebasan agama. Tidak akan ditemukan, jika negeranya berdasar Kristen, Yahudi, atau bahkan Islam. 

Jangan coba-coba menghina agama lain, di negeri Amerika Serikat, jika ada yang tersinggung anda bisa dilaporkan dan segera diproses dalam hukum. Hal ini termasuk dengan membuat tindakan yang merusak simbol-simbol agama lain. FBI yang juga sempat kami temui, memiliki badan khusus yang segera membereskannya.

***

Kembali berbicara pada keberagama agama di Indonesia. Kita pura-pura tidak mau melihat ada masalah dengan keberagaman agama di negeri kita. Kian hari kian carut marut. Jika kita benar-benar mau merefleksi diri maka biang kerok dari konflik antar agama tersebut adalah kekuasaan, (bukan agama itu sendiri). Perhatikanlah konflik-konflik yang meletus seringkali terkait dengan pemilu, pilkada, pilkades, bahkan sampai ranah kompetisi ajang bakat di televisi.
Oleh karena itu, ada baiknya perubahan negeri ini ke depan adalah mencabut pengaruh agama terhadap negara. Biarlah agama dikembalikan pengaruhnya agar lebih memperkuat penganutnya masing-masing. Pencabutan pengaruh agama terhadap negara tidak akan merusak negara, jika agama benar-benar dipahami oleh setiap individu.

Pencabutan pengaruh agama terhadap negera tidak akan merusak agama. 
Toh agama tersebut memiliki Tuhan-nya masing-masing yang maha Kuasa tanpa harus dibantu oleh penguasa bernama Negara. 
Bagaimana?. Anda setuju?.
.






2 comments:

Muhammad SaNg BintaNg said...

bentuknya bagaimana kak, kalau saya lihat secara sepintas, gagasan kakak memunculkan proses sekulerisasi antara pengaruh Agama dan Negara,jika konsep yang kk tawarkan bisa diterapkan, mau tak mau kita harus berdamai dengan kenyataan bahwa sekulerisasi dalam kasus-kasus tertentu di butuhkan untuk menciptakan kedamaian di semsesta raya..ada kalimat bijak mengatakan GOD IS TOO BIG TO FIT INTO ONE RELIGION, dalam ungkapan kak ;"Toh agama tersebut memiliki Tuhan-nya masing-masing yang maha Kuasa tanpa harus dibantu oleh penguasa bernama Negara".SECARA eksplisit hampir menyentuh pemahaman polytheisme...kak... I need Your clarifications NOw.. :)

peranita said...

gak lah jadi polyteist. Negara menyediakan alternatif...bukan menganut kesemua agama.

bentuknya secara individu: toleransi.

secara negara, ya...negara
tidak boleh memihak pada satu agama apapun.
bentuknya:
1. dana-dana pemerintha tidak boleh jatuh ke lembaga2 agama.
2. penengakan hukum memastikan setiap individu tidak boleh menghina agama/keyakinan.
3. Aktifitas rumah ibadah, tidak boleh menganggu kenyamanan lingkungan sekitar.
4. Negara berhak melarang ajaran agama yang tidak mengakui HAM. misalnya: dulu ajaran agama hindu di india, yang memaksa istri ikut mati jika suaminya meninggal. Hal ini dilarang pada masa penjajahan inggris. secara HAM, melanggar hak untuk hidup.

sepanjang itu terjaga, menurutku kehidupan beragama akan baik-baik saja, dan tak kan jadi komoditas politik