Friday, November 19, 2010

Amanah dari Desa Lalang

Tak ingat aku nama si Bapak dari dinas pendidikan itu. Tapi di antara tamu kehormatan yang diundang, bagiku pidato dia lah yang paling indah. Kalaulah kata-katanya seindah tindakannya, tentulah pendidikan di tangannya lebih manusiawi.

Dia bilang begini…

“Hari ini sebuah kebahagiaan bisa hadir dalam peletakan batu pertama sekolah ini…”.

“Sungguh terharu saya dengan latar belakang adinda kita ini membangun sekolah. Dari cita-cita almarhum sang ibu, dan adik, dari cita-cita keluarga”

“ Kalau ada segelintir orang kaya yang tergerak hatinya membangun sekolah, hari ini adinda kita ini mencontohkan sebaliknya. Meski rumahnya terbuat dari tepas yang nyaris ringkih, namun dia mencoba membangun sekolah yang kokoh."

"Ini menunjukkan bahwa membangun sekolah bukanlah masalah harta yang banyak atau pun usia yang matang. Kekuatannya adalah cita-cita. Cita-cita dari Adinda, dari almarhum Ibu dan Adiknya yang ingin mendirikan sekolah untuk membangun masyarakat desanya”.

…….

Yup, cita-cita!. Sebuah keinginan kuat untuk berbuat bagi sesama, dan diwujudkan.

"Kawan…apalah arti idealisme tanpa perbuatan".

Bisik kata ini tiba-tiba muncul dan menohok tepat dijantungku.

Sakit.

………

Itulah kenangan tak terlupa dari seorang sahabat di sebuah desa bernama Lalang. Sekian lama tak bersua dia datang menemuiku, memesan gambar desain sebuah Sekolah Taman Kanak-kanak miliknya yang akan dibangun di desanya. Setelah dua tahun merintis, di hadang musibah meninggalnya Ibu dan Adik yang selama ini jadi peneguh cita-citanya, dan menapat diatas tebaran duri orang yang pesimis dan iri hati. Ditangannya kini mengenggam dana bantuan untuk membangun gedung sekolah di desa.

Hebat.Tak habis-habis kekagumanku padanya.

Kudesainkan sebuah bangunan yang keterjemahkan dari karakter sahabatku ini.

Am nama temanku ini. Usia kami terpaut empat tahun. Am masih berusia 20-an, lebih muda, dan tentu saja cantik. Dulunya kukenal dia dalam sebuah pertemuan sekelompok orang-orang yang serius memikirkan masa depan tanah air. Pendidikan yang jadi barang dagangan, karakter bangsa yang tergerus luntur, Gedung-gedung sekolah yang sejak reformasi rusak dan tak terbangun lagi sering menjadi beban pikir di kelompok itu.

Am yang paling berbeda diantara mereka.

Bukan karena pemikiran-pemikiran briliannya, tapi karena penampilannya yang cantik. Yah, memang tak banyak kaum perempuan di kelompok itu. Kalaupun ada, bukanlah tipe yang ambil pusing soal berdandan. Am, tidak. Dia butuh waktu khusus disela istirahat hanya untuk merapikan riasan wajahnya. Kurasa dia juga menularkan keterampilan bersolek pada teman-temannya. Karena belakangan ketika aku berkunjung kesana lagi, pertemuan yang biasanya didominasi lelaki itu, mulai diimbangi dengan wanita-wanita cantik tapi juga cerdas. Beberapa juga ditulari jejak keberanian Am, mendirikan sekolah di pelosok desa. Ya... Am juga berbeda, karena dia telah memulai berbuat nyata.

Keliahaian Am dalam memoles wajah dan penampilan melindunginya dari dugaan picik orang-orang yang sering menilai sebatas kulit luar. Tak pernah aku merasa dia adalah gadis desa, berayah tukang becak, dan ibu penjual jamu. Kedua orang tua sederhana yang bekerja keras agar anaknya sekolah setinggi-tingginya.

Am rapi menutupi dengan pakaiannya yang senantiasa menarik, Sapuan bedak padat, goresan celak arab tegas membingkai mata dan polesan lipstik yang merona dengan cukup. Indah tak berlebihan, jauh dari murahan.

Am seorang yang berkarakter kuat, meski logat melayunya selalu mendayu. Keras kepala, tapi punya prinsip. Orang lain mungkin menjual kemalangan dirinya untuk mendapat iba dan pengakuan, tapi AM tidak. Tidak sama sekali. Sedikit celah pun tak diijinkannya orang lain untuk mengasihaninya. Sampai aku sendiri yang telah merasa bagai saudaranya pun bisa terkecoh. Lima tahun bersahabat, sama sekali tak pernah dia membuka diri soal kesulitan ekonominya. Hingga ketika aku datang melihat peletakan batu pertama gedung taman kanak-kanak yang akan didirikan di tanah warisan keluarga disamping rumahnya.Aku melihat sendiri kehidupan keluarga yang membesarkan seorang Am. Aih...Am maafkan aku yang kadang tidak mau tau keterbatasanmu.

Tak bisa kulupa saat dia datang menemuiku. Dengan lagaknya dia minta perhitungan biaya desain gambarku. Khas gaya seorang Am. Percaya diri, tak sudi terkesan murahan. Aku tersenyum saja saat itu. Adikku ini berlagak bagai orang lain saja.Tapi kuberi juga dia penawaran sesuai standar profesiku sebagai Arsitek.

Sepenuh hati kugambar Am dalam wujud bangunan. Gadis desa yang ingin menarik hati dunia. Terpencil tapi tetap ingin modern. Menjadi kebanggaan karena punya cita-cita dan mengejar cita-cita. Didepan gedung sekolahnya, kuukir inisial namanya sebagai penanda: "Gedung sekolah yang indah ini dibangun sepenuhnya oleh cita-cita!".

Cita-cita Am.

.......

Kuantarkan gambar itu, tepat dihari peresmian batu pertama sekolahnya. Aku tau dia suka gambar itu. Karena Am, sang pesolek, dekat dengan cermin. Dan desain itu sendiri adalah cermin seorang Am.

Tapi kebangganku pada hasil karyaku yang disambut decak kagum orang-orang desa itu segera kandas tergantikan rasa terkejut. Terperangah melihat rumah tepas disamping titik pondasi yang baru terpacak. Itukah rumahmu kawan?. Reot dan ringkih, tapi tetap terlihat ceria. Itukah becak yang menghidupimu kawan?. Begitu berbeda dari yang kumiliki, tapi begitu jauh capaianmu membangun teori-teori harapan kita tentang pendidikan.

Sekali lagi bukan iba yang hadir didiriku. Aih...Sahabatku ini memang tak pernah mengijinkan iba ada menyentuhnya. Justru aku jadi malu. Malu dengan apa yang kumiliki, tapi belum juga bisa seperti Am.

Ya..bapak dari dinas pendidikan, anda benar sekali. Orang kaya sekalipun belum tentu tergerak hati untuk berbagi kekayaan bagi pendidikan anak-anak desa. Karena bukan kekayaan yang bisa membangun sekolah, tapi hati yang sunguh-sungguh mengapai cita-cita. Hati yang ingin memberi.

......

Sebelum pulang diselipkannya lembaran kertas dikantongku. Ditambah senyumnya sebagai ucapan terimakasih. Ditambah senyumnya sebagai ucapan terimakasih. Aku tahu, aku juga membawa pulang bonus yang setimpal:Kisah Am. Trimakasih Am. Kisahmu bagai amanah yang ingin kusebar kemana saja.

.....

Am adalah fenomena di desanya. Namanya tak selalu indah. Tapi sepenuhnya aku percaya dia sebenarnya anak yang baik. Bagiku dia, adik, sahabat, murid yang pernah kudidik dan kupautkan harapan, dan akupun belajar banyak darinya.

Semoga cita-cita Am mengantarkannya pada sebuah kebahagiaan yang hakiki.

No comments: