Friday, August 08, 2008

Alamanda



Alamanda…
Gadis yang menggangguku sudah 3 bulan ini. Dia selalu hadir. Setiap malam. Setiap aku termenung sejenak. Terkadang saat aku dalam pekerjaan. Dia datang.
Kadang tersenyum. Kadang melompat girang. Kadang berceloteh apa saja.

Dia sungguh menyenangkan. Aku suka dia. Aku sangat mencintainuya. Tapi kehadirannya selalu meninggalkan keresahan bagiku. Selalu ada janji yang mengikatku untuk pertemuan kami berikutnya.

Belakangan ini dia sering datang dengan mencak-mencak. Menghentak. Marah.

“Kamu bagaimana sih?”.

“Berapa lama aku harus menunggu janjimu?”.

Aku kehabisan kata untuk menjawab pertanyaannya itu. Janji-janjiku seakan mebungkamku dengan rasa bersalah karena tak mampu memenuhinya.
Aku gundah sekali. Sungguh alamanda…kau adalah harapan terbesarku. Alamanda adalah masa depanku. Bersamanya adalah keresahan yang selalu kunanti.

Yah… aku memang bersalah. Selalu menepiskan waktu bersama alamanda. Meski aku sangat tak ingin menepis menolaknya. Maka janjilah yang selalu kuberikan pada sebagai penjamin kerinduanku pada Alamanda.

“Nantilah Alamanda”.
“Nanti malam kita bercumbu. Kita akan bercumbu hebat dan sepuasnya. Saat ini aku masih mengerjakan ini itu”.

Kujelaskan padanya begitu banyak kesibukanku. Meski sungguh menyakitkan menepiskan kebersamaan dengan Alamanda, dan memenjara diri dalam rutinatas pekerjaan kantor yang menjemukan ini.

Memang waktu kerjaku sangat padat. Tumpukan pekerjaan makin sering memenjaraku. Anehnya saat itu pula Alamanda muncul. Janji padanya pun bertumpuk. Dan sekarang adalah puncaknya. Dia benar-benar marah.

Ups…marah yang seperti ini adalah marah yang kedua sebenarnya.

Saat marah yang pertama dia menghilang beberapa lama. Dan aku kelimpungan. Setiap jejaknya ku cari. Aku benar-benar merindukannya. Benar-benar sangat kehilangan. Ternyata meski bersama alamanda adalah keresahan yang menyesakkan, tapi tanpa Alamanda, aku justru mengalami kesesakan yang pula. Kesesakan tanpa Alamanda membuatku nyaris merasa mati.Sedangkan Bersama Alamanda adalah kesesakan yang menghidupkan. Membuatku benar-benar merasa hidup.

“Ok Alamanda…maafkan aku”.

“Sungguh aku minta maaf”.
Aku berusaha menunjukkan kesungguhanku dengan ucapan dan mimik wajah penyesalanku.

Tapi…

Dia hanya diam. Wajahnya dipalingkan dariku. Gayanya yang angkuh, khas milik Alamanda.

Aku coba membujuknya lagi. Kalau tidak, habislah masa depanku. Sudah kusiapkan banyak hal untuk kebersamaan kami sepuasnya. Esok dan esok adalah hari penuh cinta bersama Alamanda.

“Alamanda, sayangku...."
"Maafkan aku. Selama ini aku lembur untuk mendapatkan benda ajaib ini. Semua demi malam-malam berkencan dengan mu Alamanda”.

Agaknya rayuan ku ini membuatnya penasaran. Wajahnya tak angkuh lagi, tapi penasaran.

Aku tersenyum. Ku tunjukkan padanya benda segi empat mengkilap dengan cantiknya.
Hadiah untuk Alamanda.

Terlihat Alamanda terlonjak girang. Aku tahu itu tanda marahnya telah reda.

“Aku sudah beli notebook untuk kita lebih sering bertemu”.
“Kelak dimanapun kebersamaankan kita, akan melahirkan anak-anak budaya yang tak terserak lagi. Kita akan susun lebih rapi. Dan suatu saat menjelma dalam buku yang beranak pinak dikepala pembacanya dan dengan begitu cinta kita akan mengabadi”.

Alamanda tersenyum manis sekali. Tentu saja dia memafkanku. Ada binar mata penuh semangat di sana.
Dan Alamanda berkata…

“Lets dance honey…”
“ Mari kita wujudkan janji-janji kita pada kehidupan ini”.
-------------------------------------------

Bahagianya kembali bertemu alamanda yang hilang. Keresahan bersamanya yang begitu menggoda, terasa nikmat. Esok dan esok adalah milik kami berdua, hanya aku dan Alamanda. Dan ketika sampai saatnya Alamanda lahir dan wujud. Merasuki semua pembacanya dengan keresahannya.
Maka itulah keabadian kami berdua.

Alamanda….novel ku.

------------------------------------------

No comments: