Pak Pung baru pindah rumah. Terletak di pinggiran kota, tapi mudah menjangkau tempat kerjanya dikota. Suasana sekitar rumahnya masih sejuk, masih banyak pohon hijau, dan burung-burung yang bernyanyi di pagi hari.
Semua terasa sempurna bagi Pak Pung kecuali satu. Tanah kosong di depan rumahnya menjadi tempat pembuangan sampah. Pagi, siang dan sore hari, matanya harus menatap tumpukan yang tak sedap itu, belum lagi baunya yang menggangu dirinya menikmati nyanyian burung di pagi hari. Orang-orang lewat depan rumahnya pun menutup hidung.
Sudah berbagai cara dilakukan oleh Pak Pung agar orang sekitar tak buang sampah di depan rumahnya.
Melapor ke Lurah. Pak Lurah cuma bisa angguk-angguk, tapi tak juga ada perubahan.
Buat papan pengumuman dari yang sopan sampai akhirnya tulisan kasar : "Yang buang sampah disini ANJING!". ...Toh tak juga mempan menghalangi sampah semakin bertumpuk.
Sampai Pak Pung berjaga-jaga seharian di depan rumahnya agar tak ada yang buang sampah, tapi akhirnya Pak Pung capek sendiri.
Entah dari mana sampah-sampah itu muncul, meski di jaga pun, selalu saja bertambah.
Pak Pung pusing tujuh keliling.
Sampai suatu hari, sepulang tetangga yang bergunjing dengan istrinya tentang santet menyantet. Pak Pung bersorak...Ahaaa!.
Sekarang tak ada yang berani membuang sampah di depan rumah Pak Pung. Tak ada lagi bau sampah yang menyengat sepanjang hari.
Bau itu berganti dengan bau kemenyan yang dibakar.
1 comment:
Sayang ya si kodok da pny istri..
klo ga mgkn habibah mau kali ya..
ceritanya da bikin ak jadi ktawa..
asik..
lucu bgt...
thanks ya,yg pny cerita...
Post a Comment