Thursday, April 10, 2014

Pemilu Indonesia: Suara Rakyat atau Suara Tetua Partai Politik?

Pesta Demokrasi. Itulah nama lain dari Pemilu. Disinilah muara suara-suara rakyat mengalir dan diperhitungkan untuk menentukan arah negara di masa depan. Wakil-wakil pilihan yang dianggap mewakili rakyat untuk membuat kebijakan-kebijakaan negera.

Hari ini, di Indonesia pesta itu berulang lagi, dan hasilnya adalah cermin kesadaran demokrasi bangsa Indonesia. Ada yang masih berharap sistem ini memberikan perubahan, dan mencelupkan jarinya di tempat pemilihan suara. Ada yang apatis, mungkin kecewa dengan keadaan, atau merasa sama sekali tak ada harapan, sehingga mengurungkan diri tak ikut memberikan hak suaranya. 

Yang membahagiakan adalah bahwa pihak yang apatis atau yang sering disebut Golongan Putih (Golput) itu semakin berkurang tahun ini. Biasanya 60% memilih Golput, kini yang terjadi sebaliknya. Sekitar 60% rakyat Indonesia hari ini memilih.

Hampir di semua negara, perjuangan mendapatkan Hak Politik ini mengorbankan darah dan jiwa. Sekarang pun tak semua negara yang memberikan hak ini kepada seluruh warga negaranya tanpa terkecuali. Indonesia, harus diakui, bisa menjadi contoh yang baik dibidang ini. 

Sebenarnya aku hampir memilih Golput di pemilu kali ini. Sangat putus asa. Meski aku tau, jika hak ini tak kumanfaatkan maka ada kerugian besar yang terjadi. Pemilu yang berdana besar, perjuangan demokrasi yang sekian lama akan jadi sia-sia. Meski aku hanya seorang dari ribuan warga negara ini, aku toh...bernilai.

Kenapa aku (sempat) memilih Golput?
Ya...lima tahun kepemimpinan yang berjalan ku evaluasi, banyak sungguh tokoh-tokoh yang tidak tahu malu, merasa pantas memimpin bangsa ini di masa depan. Dulu di masa kecil, aku diajarkan untuk menghormati, berkata santun, tidak mencuri, tidak menipu, peduli terhadap orang tertindas, berprestasi. Dan oleh mereka para politisi, melanggar semua itu, bangga, dan gilanya...dianggap lumrah dan biasa saja. Norma sosial di negeri ku sedang merengsek amblas, tak beradab.

Kenapa orang-orang tak tahu malu ini bisa duduk di sana dan bertingkah seenaknya?.
Perjalananku di Amerika Serikat (IVLP), membuat hal ini menjadi lebih masuk akal.

Kekuatan partai politik di Indonesia, terlalu besar. Dan dalam sistem partai kita, sebenarnya tak ada demokrasi, yang ada adalah sistem yang lebih tepat disebut: sistem feodal. Siapa yang kuat, siapa yang lebih senior, siapa yang lebih tua, dan siapa yang lebih kuat modal menjadi pemenangnya. Ketua-ketua partai seperti raja-raja dalam negara, yang menentukan kemana negara ini bergerak. Ketika ketua partai ini semakin tua, dia akan mempersiapkan keturunannya, dan membangun image trah warisan yang harus tetap diteruskan oleh partai tersebut. Prestasi jadi tak penting, yang penting adalah keturunan siapa?. 
Pilihan Golput ku adalah dalam kesadaran seperti ini, bahwa hak ku sebagai rakyat dicuri dan tipu oleh para tetua partai itu. Pemilu memang sistem demokrasi, tapi rakyat digiring untuk memilih partai yang kemudian menghianati sistem demokrasi tersebut dengan sistem feodal. 
Faktanya siapa yang dipilih rakyat, bukanlah orang-orang yang langsung di pilih rakyat. Mereka yang tertera di daftar yang di coblos itu, adalah orang-orang yang dipilih partai, bukan rakyat. Suara rakyat itu, di curi oleh para tetua partai, dan disetir dijual demi kepentingan kekuasaan mereka. 

Bagiku adalah wajar, jika kemudian rakyat yang apatis meminta bayaran pada saat serangan fajar. Suara dinilai dengan amplop 50ribu-200 ribu, atau berkedok barang, sabun cuci, jilbab dll. Berapalah biaya itu, daripada keuntungan yang didapat ketua partai itu dalam menjual suara-suara rakyat.
Lama kelamaan pada akhirnya menjadi jujur di negara ini, menjadi sebuah kenaifan. 
lalu...sampai kapan kita akan begini?.

Di Amerika Serikat, menurut pak Akram, dulu juga pernah mengalami fenomena demokrasi seperti ini. Tak sempat kutanya tepatnya kapan sistem ini dirubah, dan bagaimana berubahnya. Tapi kemudian para pengelola negara di Amerika Serikat kemudian sepakat merubah sistem ini dan mengkebiri kekuatan partai. 

Sistem itu kemudian memberikan kemungkinan bagi seorang Obama menjadi Presiden. Jika dilihat siapa Obama 20 tahun lalu, tentu saja di bukan siapa-siapa di politik AS. (Akh...kita juga tahu kalau Obama dulu besarnya di Indonesia).

Lalu bagaimana seorang yang biasa-biasa saja menjadi orang nomor satu di negara adidaya?

Dalam Pemilu, di Amerika Serikat, kekuatan partai dikebiri. Tak banyak yang tau siapa ketua partai Demokrat atau siapa ketua Partai Republik di AS. Karena memang tak penting untuk di ketahui. Para pengurus partai tak punya pengaruh dalam menentukan siapa wakil rakyatnya. 
Rakyat lah yang menentukan siapa wakilnya yang akan dipilih dalam pemilu. 

Jika ingin jadi Caleg dalam pemilu, maka seorang caleg harus mencari DUA dukungan penting yaitu:
1. Civil Society, yaitu berbagai organisasi masyarakat 
2. Pengusaha

Tanpa dukungan kedua kelompok ini, maka gak usah mimpi menjadi anggota legislatif. 

1. Civil Society/Organisasi Masyarakat
Dukungan organisasi masyarakat, tentu saja bukan sesuatu yang aneh bagi kita. Umumnya tokoh politik di negeri ini adalah pemimpin organisasi masyarakat, bahkan setiap menjelang pemilu ada saja organisasi yang didirikan. Kadang seorang politisi di Indonesia memiliki 2 atau 3 tampuk kepemipinan organisasi, dan entah bagaimana dia membagi waktu menjalankannya. Tentu saja banyak organisasi itu cuma sekedar nama diatas kertas tanpa basis massa. 
Di Amerika Serikat, civil society inilah yang menjadi volunter/relawan pemenangan sang caleg. Par relawan ini yang bergerak membantu mengkampanyekan sang caleg. Oleh karena itu, jika organisasi masyarakat sekedar nama diatas kertas, tentu saja tidak akan berpengaruh terhadap pemenangan seorang caleg. 
Untuk mendapatkan kepercayaan dari organisasi masyarakat, tentu saja dia adalah orang yang cukup dikenal prestasinya di organisasinya dan. 
Karena pentingnya peran Organisasi masyarakat dalam sistem demokrasi, negera memberikan ruang dan kemudahan agar organisasi masyarakat tetap tumbuh subur. termasuk membentuk karakter kepemimpinan sejak awal di sistem pendidikan AS.

2. Pengusaha
Jadi ketika banyak yang menghujat ketika Jokowi mendapat dukungan para pengusaha, maka itu adalah hal wajar di Amerika, dan harus didapatkan.
kenapa?
Negara mendapatkan dana dari pajak. Dan pajak-pajak tersebut bersumber dari kerja-kerja pengusaha yang membuka lapangan kerja, sampai pada keuntungan perusahaan yang dijalankannya.
Mana mungkin negara ini berjalan, tanpa ada pengusaha. Pajak terbesar ya..bersumber dari kerja-kerja pengusaha. (termasuk hutang2 :D)
Pengusaha juga memiliki ketergantungan yang sama terhadap negera. Perusahaan akan sulit berjalan dengan kebijakan-kebijakan yang sering berubah, apalagi tidak memihak terhadap keuntungan perusahaan. Para pengusaha tentu saja akan menguji kemampuan caleg terhadap pengelolaan bisnis. Kalau seorang caleg tidak paham bagaimana sebuah bisnis berjalan, bagaimana mungkin dia akan membuat kebijakan yang membantu bisnis berjalan dengan baik. Maka keterampilan bisnis, mutlak harus dimiliki oleh seorang caleg. Tak heran anggota legislatif di Amerika Serikat memiliki bisnis sendiri, dan tidak hidup dari gaji menjadi anggota legisatif semata. 

Nah, dukungan kedua kelompok ini lah yang harus dikumpulkan oleh seorang Caleg. 
Caleg lah yang kemudian menentukan partai mana yang akan menjadi perahunya dalam pesta demokrasi. Inilah yang sangat berbeda dengan Indonesia. Di Indonesia, partai lah yang memilih caleg-calegnya, sedangkan di Amerika, Caleg lah yang memilih partainya.

Jika dukungan dua kelompok diatas telah memenuhi syarat, maka suka atau tidak suka Partai Politik harus menerima Caleg tersebut di Partainya. 
Sistem ini, menurutku benar-benar menghargai suara rakyat sebagai penguasa sesungguhnya dalam sebuah negara. Kekuasaan bukan berada di para tetua partai, tetapi Rakyat.
Nah...seberapa baik caleg tersebut, adalah wakil langsung dari organisasi masyarakat dan pengusaha yang diwakilinya. 

Menurutmu, mungkinkah para tetua partai-partai itu mau merelakan kekuasaan demokrasi itu kembali kepada rakyat?. Hanya kebesaran jiwa mereka yang memungkinkan hal itu, dan melihat kebanggaan terhadap kekerdilan jiwa para politisi selama lima tahun terakhir, aku pesimis.
Maka siapakah yang bisa merebut kembali hak rakyat dari para tetua partai itu?. 
Rakyat itu sendiri.... tentu saja. 
Tidak sendiri-sendiri...tentu saja.
Organisasi Masyarakat yang harus tampil di depan.

 

No comments: