Sunday, February 24, 2008

Budi di persimpangan jalan



Katakanlah Budi, nama anak kecil itu, berdiri dengan memegang gitar kecil, dengan langkah lucunya, sambil tersenyum lugu mendekat, tak seberapa lama tangan mungilnya itu memainkan senar gitar, dan bibir kecilnya mulai melantunkan lagu sumbang. Sungguh menggemaskan melihat anak itu bernyanyi begitu lugunya, matanya berkata ke pada semua untuk memberikan uang recehan sebagai penghargaan usaha kecilnya. Ketika kuberikan, mata itu berbinar dan berkata terimakasih diikuti senyum manisnya.

Anak itu lucu, badannya yang mungil, menunjukkan usianya tak lebih dari 5 tahun, pipinya bulat menggemaskan, walaupun wajah dan tubuhnya kotor oleh debu jalanan, tapi kulitnya, rona matanya yang bersinar, pipinya yang menggemaskan itu, menunjukkan dia anak yang sehat, segar bugar. Entah kemana orang tuanya, hingga tega membiarkan anaknya hidup di jalanan, diusia sedini itu.

Itu salah satu anak jalanan dari ratusan anak jalanan di kota ini.
Di persimpangan jalan yang lain, di kota yang sama, seorang bocah umurnya lebih tua dari si Budi yang lucu tadi, sekitar 7-8 tahun, badannya kurus, baju kumal, matanya tidak bersinar, dan dia berbeda dengan si anak balita tadi, ia justru memanfaatkan kekumalannya dengan tambahan kotak kecil, kadang-kadang tangan kumalnya saja yang ditengadahkan kepada siapa saja yang lewat. Dia menjual rasa iba ke setiap orang yang memandangnya. Seorang gadis penasaran bertanya, dimana orang tua si anak yang harusnya menjaganya. Dengan takut bercampur malu si anak menjawab bahwa ibunya juga pengemis. Gadis penasaran itu hanya menghela nafas, tersenyum pahit, dan terpaksa maklum, sambil memberikan recehan sisa belanjanya sekedar membayar rasa iba yang dibelinya dari si anak tadi.

Di persimpangan jalan yang lain, masih di kota yang sama, anak-anak di pinggiran jalan itu bergerombol, memperebutkan sebuah kaleng yang baru saja di beli dari hasil menegadahkan tangan atau menyanyikan suara sumbangnya di sisa atap angkutan kota. Kaleng berwarna orange itu dihirup bergantian. Dan tak lama kemudian mereka pun menikmati dunia imajinasinya masing-masing, sekaligus merusak otak dan masa depannya.
......
Mungkin esok Budi kecil yang lucu, akan terpengaruh teman-temannya untuk nge”lem”, dan pipi bulatnya akan cekung, binar matanya akan meredup, tubuh kecilnya akan layu, kurus kering oleh narkoba.

Sekolah hanya jadi tempat membosankan dan membingungkan saja, sementara para mafia_yang bisa jadi orang tua mereka sendiri_ justru memanfaatkan mereka. Dan ketika si Budi semakin dewasa, kebutuhan semakin bertambah, sementara keterampilan yang dipunyai hanya menyanyi sumbang dan menengadahkan tangan tidak bisa diharapkan lagi.

Akan jadi apakah Budi?




3 comments:

Anonymous said...

Ceritanya, bagus, tetapi inti ceritanya gak jelas,kayak jual kemiskinan. kalau lagu bang Iwan kan jelas dia menceritakan si Budi aja, gak menceritakan anak yang lain.

Ka' Inong

No longer valid said...

Budi ini silhuette dari garis kehidupan sosial di kota besar. Masih mendingh ibunya juga kerja, meski jadi pengemis. Umumnya malahann Budi menjadi sejenis beruk Lampung yang disuruh mencari duit sambil dikendalikan oleh tuannya yang sering malahan ortunya. Sadisnya klo dapet duit sedikit malahan digebukin didepan teman2nya. "Biar kapok lalu rajin cari duit gimana aja caranya." Kebayang dong betapa suramnya masadepan sekelumit anak bangsa.
Minuman berkaleg oranye itu bisa jadi kompensasi dari kegetiran hidup yang harus ditanggung oleh anak2 sekelas Budi. Buat menebus mimpi hidup nyaman di kota besar.

peranita said...

yup...narkoba bagi mereka seperti beristirahat sejenak dari penatnya hidup.

jadi serba salah. :(