Sunday, January 24, 2010

Negeri 5 Menara : Menang Karena Tema

Kesan pertama memang membuat penasaran saat membaca sampul belakang buku ini. Bagaimana tidak, potongan komentar kekaguman bergulir dari orang-orang yang cukup dikenal dalam skala nasional. Seperti BJ Habiebie, Riri Rija, Kak Seto, Ary Ginanjar Agustian, Helvy Tiana Rosa. Biasanya celoteh komentar itu tak membuatku bergeming, tapi nama BJ Habibie berhasil membuatku mencoba membuka lembaran buku ini. Baru kali ini kutemukan tokoh teknologi memberi komentar dalam novel.


Lembar demi lembar kulahap dengan bertahan melawan rasa bosan dengan alur cerita yang datar dalam novel ini. Sedatar catatan perjalanan hidup dalam blog. Sempat jengah karena merasa deretan komentar tokoh penting ada itu karena latar belakang penulis sebagai wartawan. Satu-satunya yang membuat ku bertahan adalah karena Kisah yang direkam adalah kehidupan penulis semasa di Pesantren.

Tema Kehidupan Pesantren inilah yang menurutku menjadi satu-satunya daya tarik sekaligus dan daya jual buku ini. Bukankah tak banyak yang menyingkap kehidupan pesantren?. Bukankah seringkali kita memberi cap lebih dahulu, padahal tidak melihat seluk beluk di balik tembok pagar pesantren?.
Pesantren, dalam ingatanku di masa SMA, adalah sekolah nomor dua. Tempat orang tua yang putus asa melepaskan anaknya yang biasanya di cap bandel dan nakal agar dibimbing menjadi anak yang soleh, seperti idaman semua orang tua manapun didunia ini. Jarang kutemui teman yang menggapai cita-citanya melalui pendidikan pesantren. Tepatnya Pesantren memang seperti tempat pembuangan anak.

Novel ini, memberikan gambaran berbeda dengan pandangan umum. Melalui Para Sahibul Menara, Atang, Alif, Baso, Raja, Dulmajid, dan Said, mereka adalah tokoh yang dikisahkan sebagai anak baik-baik dan berkualitas unggul. Karena bibit unggul, diharapkan akan juga unggul dapat menerapkan ilmu Agama yang diperolehnya dan menjadi teladan di masyarakat. Novel ini memang menggambarkan fenomena yang ada di masyarakat umum. Disatu sisi menganggap lulusan pesantren adalah manusia yang plus dalam agama, namun anak-anak yang di kirim kedalamnya pada awalnya justru bukan berniat menekuni agama bahkan sering di cap nakal. Jangan tersinggung hai kawan-kawan tamatan pesantren. Ini persepsiku dulu. Menurutku cap sekolah kelas nomer dua juga dialami oleh sekolah dengan latar belakang agama lainnya.

Belakangan setelah menyelesaikan pendidikan formal disediakan pemerintah, dan bergelut dalam diskusi diskusi pendidikan, aku mulai mengagumi Pesantren. Bisa dikatakan Pesantren adalah pendidikan alternatif yang tertua dan masih bertahan di negeri yang kini cenderung menjadikan pendidikan sebagai bisnis semata.

Kalau sekolah formal milik pemerintah sering dikacau balaukan oleh kurikulum/peraturan yang bagai badai berganti di setiap pergantian mentri pendidikan, Pesantren justru lebih bebas karena tidak berada dibawah koordinasi Kementrian Pendidikan Nasional.

Saat pendidikan formal negeri ini terjebak dengan tujuan mendapatkan lembar ijazah untuk modal kerja, dari novel ini, Pesantren tetap percaya diri dan tak sedikitpun berorientasi ijazah. Tamatannya dibiasakan belajar keras, disiplin, dan tekun beribadah tak sekalipun di anjurkan untuk menjadi Karyawan, tapi justru diharapkan mempekerjakan karyawan. Guru-gurunya malah mencontohkan pengabdian sepenuhnya pada pendidikan, tanpa gaji, tanpa berharap kemewahan materil. Yang paling membuatku gigit jari...adalah lingkungan belajar Pesantren yang memaksa diri untuk menguasai bahasa arab dan inggris. Ketrampilan yang sering membuatku terseret-seret untuk maju. Karena bahasa kunci ilmu pengetahuan.

Deskripsi dalam novel ini begitu jelas menggambarkan suasana dan semangat belajar yang dibangun dengan tersistematis. Bagaimana santri terpicu belajar dengan lingkungan penuh dengan aura belajar. Ada juga kisah yang menggambarkan trik untuk menguasai bahasa inggris dan arab, bagaimana cara santrinya menghapal Al-quran dan kamus, bagaimana menegakkan disiplin. Sangat menarik. Usai membaca, ada suara lain di relung hatiku berkata...andai aku dulu masuk pesantren.

Lalu kenapa judulnya Negeri Lima Menara?. Awalnya ada Enam orang sahabat mencari tempat berkumpul. Dan satu-satunya tempat yang dianggap nyaman adalah Menara Mesjid di pesantren Madani. Dari sana merekapun kemudian dikenal sebagai sahibul menara. Lalu kenapa 6 sahibul menara menjadi Negeri 5 Menara?. Hmm...baca sendiri lah :D. Kalau masih belum ketemu, perhatikan saja sampul bukunya dan kisah pertemuan sahibul menara setelah selesai pendidikan pesantren.
Meski tema novel ini cukup membuat pembaca yang lambat membaca seperti ku ini masih tetap bertahan hingga halaman terakhir, tapi akan lebih menarik jika konflik ceritanya juga menonjol. Tak semata menjual kehidupan yang indah di Pesantren namun juga sisi gelap pesantren. Santri juga manusia, bisa juga melakukan kesalahan atau tergiur pada godaan. Manusiawi kan?.

Tapi mungkin keinginan si penulis sengaja nyaris meniadakan penyimpangan perilaku di pesantren, karena tujuan novel ini adalah agar masyarakat meluruskan persepsi tentang pesantren sebagai tempat orang-orang terbaik untuk menjadi manusia terbaik. Apapun itu, ya...novel ini menurutku menarik, karena belum banyak tema sejenis yang diangkat. Layak di baca, untuk membandingkan dan merenungi pendidikan. Apakah pendidikan yang kita geluti selama ini telah menanamkan konsep Man jadda Wajadda?. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil.




No comments: