Friday, February 06, 2009

Pak Bupati dan Mahasiswa

Apa yang dibutuhkan negeri ini?

Beras?,

kita negeri kaya kawan…

Hanya saja kita lupa bahwa tanah kita lama kelamaan kian habis tergadai


Kau bilang pendidikan?

Tunjukkan padaku, dari gedung-gedung sekolah itu

Dari yang ambruk sampai tingkat berlantai lantai

Mengapa hanya berharap pensiun sampai tujuh turunan?


---------

Pagi buta, kami mengetuk rumah Pak Bupati. Matahari baru saja mengintip di sela embun pagi. Kabut pun belum sepenuhnya undur diri. Jangan kira sepagi itu Pak Bupati masih merapatkan selimutnya. Sarungnya memang belum lepas melilit tubuh gembulnya. Mukanya tak jelas sudah pun mandi atau belum. Bajunya hanya kemeja seadanya dan sandal jepit yang kadang diseret berjalan. Tak perduli dengan penampilan bangun tidur, di hadapinya para pengunjung yang mengetuk rumahnya dengan ramah. Dan Kami sudah di dahului oleh 5 orang yang juga ingin bertemu.


Pak Bupati memang baik lagi rendah hati. Didengarnya kami mahasiswa, dimintanya sang ajudan memotong antrian. Kami pun masuk dengan badan di tegap-tegapkan. Tak lah kami dapatkan kemudahan ini jika tak membawa bendera organisasi mahasiswa. Dan…Pak Bupati yang mengaku belum sikat gigi itu pun mulai berceloteh. Selain Bupati paling buruk rupa se-Indonesia, kukira dia juga paling banyak bicara. Meski kami hendak datang berbicara, dialah yang banyak berbicara. Curhat?. Entah lah…tapi dia berkata yang tak ku lupa sampai sekarang.


“ Bukan tak banyak yang Bapak membantu orang-orang sekitar Bapak. Bolehlah dikatakan KKN.Beberapa PNS di sekitarku adalah orang-orang yang kuharap mau melakukan perubahan. Dikirim studi banding sana sini, agar bisa di contohkan di daerah ini…"

"tapi..." Pak Bupati terdiam sebentar, wajahnya tampak sedih.

"tapi..tak juga ada perubahan. Cobalah kau jawab mahasiswa, apa yang harus ku lakukan?.


Dan pertanyaannya bukan lah untuk kami jawab karena dia terus mengoceh. Sekali-kali menertawakan anak buahnya. Mengisahkan perhatiannya kepada anak buahnya. Sampai ulang tahun pegawainya pun dia sempat memberikan kartu ucapan selamat. Salut benar kami mendengarnya. Dan tak hendak memotong pembicaraannya. Karena di percakapan ini San Bupati lah yang memegang kendali. Kami harus menunggu sampai maksud hati kami di persilahkannya untuk di ungkap.


“ Ada lagi yang aneh bin ajaib". Pak Bupati memulai kisah baru dengan tema yang senada. kekecewaan.

"Ada tamatan S2 datang berkunjung meminta tolong. Yang di pintanya hanya satu, agar aku bisa meloloskan dia test PNS".

“ Cobalah kau lihat Mahasiswa,bukankan aneh jika tamatan S2, jauh-jauh sekolah ke luar negeri, pulang-pulang minta tolong pada ku yang cuma tamatan sarjana?". Alamak mata bulat Pak Bupati bulat mendelik bikin ku geli.

"Bukankah dunia sudah aneh?". Lanjutnya lagi. Kami tetap jadi pendengar budimannya meski hati teraduk-aduk, antara geli dan juga miris.

"Bukankah harusnya aku yang minta bantuan dari yang berpendidikan lebih tinggi?. Kenapa pula dia masih berharap PNS?.


Sekali lagi memang bukan pertanyaan itu bukan untuk kami jawab, tapi cermin kepada kami. Dunia pendidikan bukanlah jaminan kemandirian.


“Nah, ada lagi yayasan meminta pengadaan bantuan bangku sekolah. Ku baca daftar pengurus yayasannya adalah orang-orang terkaya di daerah ini….

"Coba kau jawab lah mahasiswa…. "

"Untuk pengadaan kursi sekian juta perak saja mereka tak sanggup???!". Percaya kah kalian?".

Suaranya meninggi, dan mata mendelik, dan kami pun geleng-geleng tanda tak percaya.

"Kenapa ya... mereka masih rakus untuk meminta?".


Aku dan temenku tersenyum miris.

“hmm…Baiklah". Suara Pak Bupati terdengar menyejuk.

"sekarang apa yang ingin kalian sampaikan."


Ramah dia meminta kami bicara.

"Nah..ini baru kesempatan kami". Yakinku dalam hati.

Kusorong proposal pelatihan sekolah kemandirian, mantap tanpa ragu.


“Kami bukan pengemis Pak, kami mahasiswa. Saat ini Kami cuma punya tenaga dan pemikiran. Bapak Bantu kami dana. Bukan dana untuk hura-hura, atau studi banding tanpa hasil. Ini Dana untuk pendidikan anak negeri. Pendidikan yang tidak melahirkan peminta-minta pensiunan dari Negara tapi menghidupi Negara dengan karyanya. Pendidikan yang tidak melahirkan orang-orang yang selalu merasa kurang mendapatkan apapun, tapi pendidikan yang melahirkan orang-orang yang selalu memberi, berbagi, berbuat untuk sesama. Kami tidak mengemis Pak, kami meminta secuil hak pendidikan yang di borong dan di jual mahal oleh dinas pendidikan”.


Pak Bupati bengong, tersenyum. Diliriknya proposal, tanpa niat untuk membaca isinya.


“ Tak mengerti aku apa yang kau bilang mahasiswa…". Dia diam sebentar, mungkin berfikir. Matanya melihat kami berdua bingung dan menyelidik.

"Tapi tentulah akan ku Bantu. Seperti aku membantu si PNS, si tamatan S2, dan yayasan milik orang terkaya yang tak sanggup membeli paket kursi baru itu. Kau ingat-ingatlah bantuanku ini, karena kelak aku pun akan butuh bantuanmu”.


Kami tersenyum, bersalaman sembari mengucap terimakasih.




No comments: