Wednesday, October 10, 2007

Tantangan memberdayakan calon intelektual bangsa


Aku belajar berorganisasi sejak tahun 1999. Dan sejak tahun 2000, aku mulai memfokuskan diri dalam pemberdayaan perempuan. Awalnya bergelut dalam issue gender karena tuntutan struktural jabatan di organisasi. Namun diskusi-diskusi dan kenyataan hidup yang dihadapi sehari-hari merubah sudut pandangku dan semakin memuatku berminat mengkaji lebih dalam. Dalam organisasi KOHATI, sebuah organisasi perpanjangan tangan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), aku lebih memperdalam wawasanku melalui berbagai dsikusi, pelatihan dan seminar. Keleluasaan gerak organisasi mahasiswa membuatku bebas melakukan berbagai kegiatan pemberdayaan perempuan, bebas melakukan diskusi dengan elemen-elemen masyarakat yang terkait.

Tahun 2002, lingkup kerjaku meluas dari tingkat kota Medan menjadi ke tingkat Sumatera Utara. Aku menemukan perbedaan yang sangat menyolok antara kader perempuan di Cabang ibukota propinsi yaitu cabang Medan, dengan cabang-cabang daerah di ibukota kabupaten. Alat ukur yang kulakukan adalah dari tingkat pertumbuhan jumlah kader, dan aktivitas organisasi dalam bidang pemberdayaan perempuan. Hal membuatku tergerak untuk melakukan percepatan pemberdayaan perempuan di cabang-cabang daerah.
Dari pengalamanku, dan analisa kondisi cabang-cabang daerah, ternyata masalah pemberdayaan pengurus-pengurus tingkat daerah sangat minim. Kurangnya buku-buku pendukung dan tenaga fasilitator di daerah menjadi salah satu aspek yang membuat cabang daerah tak semaju cabang Medan. Untuk kader-kader perempuan secara khusus, masalah motivasi adalah masalah paling mendasar. Terutama motivasi of power. Kaum perempuan, meskipun dalam tataran intelektual yang sama, ketika berhadapan dengan laki-laki di kelas sosial yang sama, biasanya akan undur diri (mengalah) dari pada bertarung memperjuangkan haknya. Ini lah kemudian yang menyebabkan kaum perempuan lebih banyak duduk di struktural yang di cap feminim, seperti menjadi bendahara dan sekretaris dan seksi konsumsi.

Dari analisa ini, maka aku memotori kawan-kawan pengurus melakukan Training Motivasi di salah satu cabang yang nyaris mati. Yaitu cabang Pematang Siantar. Pengalaman ini kemudian memaksaku untuk mempelajari dunia pelatihan, agar mempermudah kinerjaku melakukan pemberdayaan di lingkup organisasiku.

Menguasai dunia pelatihan ternyata membuat kepekaan terhadap pembinaan kader manjadi lebih tinggi. Dunia pelatihan mengajarkan bagaimana mempelajari dan memahami karakter manusia. Mengajarkan strategi dalam perubahan karakter. Dan membangun capacity building dengan terlebih dahulu melakukan perabuhan pada diri sendiri. Menjadi Trainer, tidak hanya berguna dalam forum training, tapi juga dalam aktivitas keseharian. Sejak saat itu mengikuti berbagai pelatihan menjadi salah satu kegemaranku. Pelatihan kepemimpinan, motivasi dan menulis adalah pelatihan yang banyak mempengaruhiku dikemudian hari. Namun dalam pengelolaan training aku lebih berminat pada pelatihan Gender. Hal ini dikarenakan keterkaitanku dalam organisasi pemberdayaan perempuan di keseharianku.

Tahun 2004 aku terpilih menjadi Ketua Umum. Jabatan ini kumaksimalkan untuk membangun cabang-cabang di sekawasan Sumatera Utara. Strategi yang kugunakan adalah mendorong kader-kader untuk melakukan pelatihan-pelatihan capacity building untuk perempuan. Sinergisasi dengan organisasi induk HMI, dan kawan-kawan pengurus laki-laki dalam membangun pemahaman yang sama terhadap pentingnya masalah pemberdayaan perempuan.


Tantangan yang kuhadapi adalah:
1.Membangun motivasi kaum perempuan untuk berorganisasi.
Umumnya mahasiswi beroganisasi karena motifasi afiliasi(perkawanan). Dalam kinerja biasanya rajin dan tekun sepanjang tidak terganggu oleh tugas-tugas domestiknya. Namun rasa tidak percaya diri dan lemahnya kepekaan untuk menjadi agent of change di masyarakat membuat mahasiswi tidak menonjol dalam organisasi. Merubah paradigma inilah yang sulit dan membutuhkan proses.

2.Merubah cara pandang kaum laki-laki.
Sereotip negatif sangat melekat pada perempuan. Meskipun dalam bentuk organisasi perempuan. Kohati tetap mendapat stereotif ngatif dari pengurus di organisasi induk. Ini mejadi salah satu tantangan terberat.

3.Faktor eksternal organisasi seperti kebijakan kampus, budaya dan pemahaman agama yang membuat terbatasnya ruang gerak perempuan.

4.Diskusi-diskusi tingkat mahasiswa terjebak pada permasalahn konsep gender dan lemah dalam pemahaman dan aplikasi terutama di bidang hukum.

Menjelang akhir kepengurusan aku mulai melakukan modernisasi organisasi dengan membuat modul-modul pelatihan buah dari pengalamanku selama mengelola pelatihan. Modul tersebut digunakan sebagai acuan pengurus kelak ketika aku meninggalkan jabatan. Menyikapi Kemajuan teknologi informasi, melalui internet kurintis sebuah blog wadah komunikasi organisasi. Blog ini dan kurekomendasikan untuk dikembangkan di tataran cabang maupun tingkat nasional.

Sampai saat ini setelah berakhir dari kepengurusan di tahun 2006, aku masih diminta menjadi tenaga pelatih yang dilaksanakan di cabang-cabang Sumatera Utara dan Batam.

Meskipun profesiku adalah Arsitek sesuai dengan ilmu yang kugeluti di bangku perkuliahan fomal, namun tempaan organisasi selama 7 tahun di bidang keperempuan membuat minatku terhadap kajian gender melekat dan tak pernah surut.

Saat ini aku sedang merintis dan mendorong kader-kader yang pernah kubina untuk bergiat menulis, melalui wadah Blog Melati adinegoro. http://melatiadinegoro.blogspot.com/
Dengan dasar berfikir bahwa Menulis adalah kekuatan. Terlebih merupakan kekuatan mahasiswa yang telah mengalami penurunan cukup drastis khususnya di Sumatera Utara. Hal ini terlihat dari jarangnya di temukan buah karya tulisan mahasiswa di media massa lokal dalam kisaran usia 20-an.
Bagi kaum perempuan yang cenderung introvert, menulis adalah jalan yang tepat.
Melalui menulis, terutama karya sastra, pemahaman keadilan gender akan semakin merata di seluruh masyarakat. Tentunya terlebih dahulu merata di kalangan intelektual.

No comments: