Sunday, October 23, 2016

Kecerdasan Media Sosial

Menulis bagi ku adalah terapi
dan ternyata sudah lama juga tak merawat blog ini.

tren menulis di wall facebook telah mematikan kreatifitas galau ku di blog ini yang ku olah dalam beberapa cerpen dan puisi. Sungguh keterampilan yang amat kusayangkan, perlahan hilang dari keseharianku. 
namun sekarang pun aku jenuh mengisi wall di fb karena disana sudah jadi ajang pengaruh politik. 

Jadi hari ini..ditengah padatnya pekerjaan. kusinggahi lagi pena pera ini
sekedar coretan sehari. 

Hmm...
cukup banyak kegelisahan sebenarnya
namun sayangnya tak perlu kita tampilkan dalam media yang menjadi konsumsi publik. 
ada hal yang memang harus kita telaah dulu, kunyah perlahan, analisa dan ketika sampai pada kesimpulan. Ternyata kesimpulannya, malah: publik juga tidak perlu tahu. :)

Perjalananku beberapa bulan ini adalah seputar kecerdasan dalam media sosial. 
Facebook, whats app, instagram, line dan lain-lain sebagainya. Pada faktanya terkadang menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Lalu bagaimana memaksimalkan semuanya menjadi dekat?. Tentunya tak semua orang akan menyukai kita bukan? di dunia nyata pun begitu. Tapi media sosial membutuhkan tingkat etika yang lebih rumit dibandingkan ketika kita bertemu muka di dunia nyata. 

Kenapa? 

1. Faktor utamanya adalah keterampilan berbahasa. Seringkali intonasi, dan tanda baca tidak terekam dengan baik. belum lagi profreader yang terkadang memperkeruh suasana. aku merasakan benar kacaunya saaat menggunakan media sosial melalui hp. Didunia nyata, komunikasi verbal, mimik wajah akan membantu kita mengerti apa yang maksud pembicaraan. Namun itu juga tergantung daya tangkap lawan bicara. Nah...di media sosial, sekat kesulitan seolah bertambah. Dan seringkali kita tak menyadari perbedaan itu. Bisa jadi karena kita terpesona dengan teknologi atau terburu-buru dalam menyampaikan ide . tapi dalam pengalamanku ber media sosial. terlalu banyak salah paham yang terjadi. Itu lah sebabnya....kita harus lebih berhatihati. Zaman sebelum teknologi kita kenal pribahasa lidah tak bertulang, namun jaman media sosial, tulang di jemari pun bisa setajam pisau. 

2. Lalu pada saat ini juga aku sampai pada kesadaran, bahwa media sosial adalah ajang kepentingan politik. Bahkan sangat dikuasai oleh kepentingan politik. Setidaknya Group atau pertemanan facebook ku. Untuk Instagram aku masih merasa sedikit lega. Tapi entah ke depannya. Aku jengah membaca facebook maupun whatsAp dengan segala tujuan politik sekelompok orang. Aku bisa melihat orang-orang yang mengambil posisi provokator, maupun terprovokasi. Diam kadang pilihan yang lebih baik. Didalam dunia gerakan sosial yang nyata, diam berarti bagian dari masalah. Aku belum menemukan sikap yang lebih tepat di media sosial selain dari pada diam. Tepatnya, diam ku adalah tidak menshare atau pun mengomentari status-status politik apapun. Diam ku adalah mengamati setiap pemikiran mereka. Apapun yang kusetujui dari hasil pengamatanku, Tak kubagi kecuali dalam forum ilmiah, di dunia nyata, dan terbatas kepada yang meminta dan membutuhkan saja. Berhenti merasa sok pahlawan, dan dapat menjawab persoalan kehidupan dengan begitu cepat dan tepat. Hidup tak senaif itu. Dan media sosial lebih banyak burung-burung merak yang ingin diperhatikan daripada orang-orang yang butuh jawaban serius dari sebuah persoalan. 

3. Penggalangan dana dengan media sosial. Ini sangat marak dan sulit terdata. tentu saja seringkali penggalangan dana adalah bersifat spontanitas dan walau bisa saja ada juga agenda yang direncanakan. namun penggalangan dana lewat media sosial menurutku sangat rentan dengan tindakan penyelewangan ataupun lari dari tanggung jawab. Tentu saja bukan berarti seburuk itu juga. Budaya Indonesia belum terbiasa memastikan apakah dana yang kita sumbangkan benar-benar bermanfaat dan bernilai terus mengalir. Lebih sering donasi dilakukan untuk membayar rasa iba. Apakah dana itu sampai kepada yang berhak dan digunakan untuk yang Hak, kita seringkali menyerahkan itu kepada yang Maha Kuasa. Bagi banyak orang itu adalah akhir cerita. Tapi sebenarnya itu adalah awal masalah baru. Mental malas, mental si Miskin yang merasa berhak mendapat receh. Itu terbangun begitu saja. Bantuan sosial menjadi tak pernah menyelesaikan persoalan sosial. tapi justru menyebar dan terus menerus. Kita tak pernah benar-benar berfikir dan mau bekerja keras untuk memutuskan tali kemiskinan itu. 

Ya...media sosial membuatku lebih berhati-hati dan amat berhati-hati. Lebih baik berbagi ide dan motivasi perubahan. Tapi lebih baik lagi berbagi apa yang telah kita perbuat di dunia nyata. Itulah sebabnya belakangan ini facebook ku memuat kegiatan sosial yang ku lakukan. 
Negara yang sakit, dunia yang mencemaskan ini, butuh orang yang lebih dari sekedar bicara saja di facebook. Tapi orang-orang yang berbagi dan menyebarkan kehidupan bagi kemanusiaan. 

Inilah yang kusebut, Kecerdasan Media Sosial. 
Aku mencari oorang-orang yang se ide dengan ku. Pada satu tahap menjadi etika sosial. Sehingga peradaban di dunia maya itu pun menjadi lebih manusiawi dan berkontribusi lebih besar bagi peradaban manusia yang manusiawi. 

Semoga. 


Dan Blogger?. Aku masih mencintaimu :)

No comments: