Tuesday, July 24, 2012

Lilin atau Obor

"Jangan jadi Lilin, jadilah Obor"

Kutipan kalimat itu terselip dalam buku kenangan sebuah pelatihan yang kuikuti.
Sebuah kebiasaan Instruktur/pelatih untuk memberikan kenangan  kepada kader yang dididiknya.

Kebiasaan itu menjadi tak biasa bagiku. 
Kelak Kutipan itu tak pernah lekang dari ingatanku. 
Sangat menganggu. 
Aneh...apa maksud kalimat tersebut?.

Kutanyalah kepada sang Guru yang menuliskannya, dia pun menjelaskan begini:

Lilin memang memberi terang kepada sekitarnya, tapi lilin membakar dirinya dan mati. 
Bagaimana dengan Obor?.
Dia adalah wadah, penerang yang tidak menghanguskan dirinya.

Aku mangut-mangut mendengar penjelasan itu. Ada sedikit rasa sakit entah apa kala itu. Mungkin aku tersinggung. Merasa tersindir. Merasa tertuduh menjadi lilin yang menghanguskan diri, dan segera padam. 

Saat itu aku menjabat sebagai staf ketua. Intensitas aktifitas yang cukup tinggi dibandingkan rekan sepengurusan lainnya. Masa itu aku berada pada puncak kreatifitas berorganisasi. Banyak yang ingin kuperbuat, dan energiku benar-benar tertumpah hampir seluruhnya. Ambisius...itulah aku di masa itu. 

Dan nasehat di secarik kertas kuning berbentuk apel itu, mengingatkanku..
Sungguh-sungguh menarikku pada satu pertanyaan...
Apa yang aku cari?
Apakah aku Obor?
Ataukah aku Lilin yang sial?

Tentu saja aku ingin jadi obor. Selalu ingin meng'ada' sebagai wadah penerang. Maka, semangat aktifitasku berubah haluan. Ingin menjadi penerang yang terus menerus menerangi. Dan menjadi guru adalah obor itu. Obor yang menjadi estafet ilmu dan dialirkan terus menerus.
Akupun memilih caraku menjadi penerang. Aku yakin caraku ini benar.
Pelatihan ke pelatihan lain, kuikuti dengan antusias. Buku-buku dan modul-modul pelatihan menjadi incaranku. Pengalamanku, membuatku ingin segera berbagi dan berinovasi. Maka setiap kehadiranku menjadi wadah eksperimenku dalam memodifikasi pelatihan.

Meski aku menemukan jalan yang ingin kutempuh, tapi ada saat dimana aku menyukai dan memilih menjadi Lilin. Luluh lantak dan mabuk dalam aktualisasi diri. Seperti cinta yang sering membutakan pasangan kekasih.
Dan kemabukanku pada pelatihan tersadar kembali, ketika membuka lembaran kenangan pelatihan. Lagi-lagi potongan kertas berbentuk apel itu seperti menghardik.
"Jangan jadi Lilin, jadilah Obor"
Oh...betapa menjadi guru malah tersesat menjadi buruh tanpa pamrih. Kadang tersesat pada kebanggan diri yang semu dan sekejap.

Maka kucoba kembali menjadi obor.
Tahukah kamu caranya?.
Menulis.
Merekam kata dan pengalaman sebagai pembelajaran bagi masa depan.
Seperti pesan yang kau tangkap saat kau baca rangkaian kata ku ini.
Semoga mengalir.

Sadar sesadarnya aku melewatkan kesempatan menikmati hidup seperti kebanyakan anak muda.
Sadar dengan sesadarnya aku menikmati hidup dengan cara yang berbeda.
Dan sadar pilihan itu memberikan tempat yang nyata bernama kesendirian.
Di titik inilah aku sadar,
Akulah sang lilin. 

Aku adalah lilin, aku adalah obor, aku adalah keduanya.


******

*Trimakasih kepada para Instrukturku...untuk sepotong kalimat yang tak terlupa*


No comments: