Pertama kali melihat iklan tari pendet yang di klaim oleh Malaysia aku tertawa terpingkal-pingkal. Benar-benar gak nyambung sama sekali dengan gaya tampilan busana mereka di publik. Kalau mengingat penampilan Mahathir Muhammad dengan Pecinya, kain selutut yang di ikatkan sepinggang itu, sungguh sejuk dan wibawa. Belum lagi pakaian Kaum hawanya yang longgar dan berpola senada, sering di sebut baju kurung itu. Meski modelnya tak banyak, tapi tetap saja kesan sejuk itu terpancar karena aurat yang tertutup. Sedari ku kecil, sejak antena parabola di rumah bisa mengakses TV 1,2 dan 3 Malaysia, aku sangat kagum dengan cara busana masyarakatnya. Dan kini semua itu sangat kontras dengan pakaian yang digunakan di tari pendet.
Lalu kenapa pula pendesain iklan tersebut seolah kehilangan karakter khas Malaysia. Jika mereka berharap dengan iklan itu bisa menjaring tourisme di Malaysia, kasihan sekali hijab yang selama ini menutup gadis-gadis Malaysia mulai digoda dengan jendulan tubuh sana sini. Mungkin logika bisnis membuat mereka menjual harga dirinya. Kasihan. Semakin gelap saja budaya di Malaysia. Berkiblat pada bisnis bukannya untuk kualitas manusia yang lebih baik.
Indonesia, seperti biasa. Kebakaran jenggot. Di hampir semua komunitas sosial, dengan bantuan kompor gas media massa, issu ini jadi perbincangan panas. Nasionalisme jadi tema utama. Entah mereka ingat atau tidak, saat menjelang pengesahan RUU Pornografi, Tari-tarian sejenis cara busana tari pendet terancam punah, dan cuma segelintir kelompok yang mempermasalahkannya dan nyaris terbungkam oleh Tragedi Monas 1 Juli 2008. Satu tarian busana sejenis yaitu tari Jaipong heboh ole para pencintanya karena merasa terancam akan di larang. Dan warga Indonesia umumnya...biasa aja tuh.
Pemerintah Indonesia juga seperti biasa. Dingin. Sama seperti dinginnya tanggapan menghadapi kenyataan dimana ribuan TKI yang di deportasi dari Malaysia terlantar di Nunukan Kalimantan Timur tahun 2002, dan menguak perbudakan TKI ilegal di dunia prostitusi Malaysia. Sama dinginnya ketika mantan pemenang Olimpiade Matematika yang pernah membawa harum nama Indonesia terbunuh di Singapura tahun 2009. Dari sekian ribu korban nyawa bangsa Indonesia yang di lecehkan kemanusiaannya di negeri Jiran, paling hanya Nirmala Bonat, dan Halimah yang bisa pulang dengan selamat, dengan luka permanent di tubuhnya. Artinya, tak sebanding. Sangat kecil kepedulian Pemerintah untuk menyelamatkan nyawa warga negaranya. Jika penghargaan terhadap nyawa manusia rendah, apalagi terhadap karya budaya. Tak heran di salah satu wawancara TV, terdengar sikap salah satu Pejabat negara, yang lebih berharap menyita keuntungan dari iklan tari pendet tersebut, dari pada memikirkan bagaimana agar tidak berulang lagi.
Yang merasa kebakaran jenggot adalah masyarakat Indonesia, bukan Pemerintah Indonesia. Hujatan dan makian terlontar dengan bentuknya masing-masing. Dari ucapan sampai bentuk kreativitas. Yang semua mencerminkan kemarahan bahkan sampai kebencian pada Malaysia. Nasionalisme mulai mengarah menjadi rasisme. Mengkhawatirkan.
Sama seperti Agama, Nasionalisme dalam sejarah dunia sering di jadikan dalih terbunuhnya umat manusia. Semoga tak sampai kesana, kedua Negara ini. Amien.
Tarian yang biasanya indah dan membuahkan kekaguman, ternyata bisa juga menjadi pemicu kemarahan antar bangsa. Aku yakin, tak pernah terpikir penciptanya tujuan itu kecuali untuk memberikan makna mendalam cermin terhadap kehidupan saat itu, untuk masyarakat saat itu, intinya untuk hal-hal yang baik.
Dari tari menjalar ke lagu. Ada-ada saja. Lagu-lagu yang di gunakan untuk membangkitkan semangat dalam lagu kebangsaan,Menjadi bahan tuduh-tuduh menuduh bangsa dengan tabiat penjiplak. Entah itu Malaysia, entah pula Indonesia.
Maaf jika aku dianggap tidak punya Nasionalisme. Tapi biarlah Malaysia merasa memiliki budaya Indonesia. Silahkan caplok semua, semoga lebih terpelihara. Semoga lebih membawa kebaikan bagi Malaysia. Semakin berbudaya bangsa Malaysia itu, semoga perlakuan mereka terhadap TKI kita pun lebih beradab.
Lalu Indonesia???
Lhaa..serahkan urusan antar negara kepada Pemerintah yang berhati beku itu. Buat yang bisa kita lakukan, tapi jangan kekanak-kanakan, seperti anak kecil pamer mainan yang dimilikinya. Kalau bisa boikot produk mereka silahkan. Kalau punya hubugan bisnis dengan mereka silah kan putuskan jika sanggup. Sesanggup kita lah.
Berhentilah memuaskan media massa yang senang menggiring kita dari permasalahan kita yang sesungguhnya. (Anak-anak kita akan menggantikan tari pendet dengan budaya ala sinetron)
Indonesia punya kreatifitas yang diminati. Mari kita jaga dan kembangkan. Mereka ambil tari pendet, kita buat ribuan pengganti tari pendet. Itulah budaya kita yang sulit untuk di curi dan di bajak. Budaya mencipta. Budaya berkreatifitas.
Jangan sampai lenyap, karena kita selalu di cekoki dengan sinetron murahan, narkoba dan pendidikan yang membodohi.
Sekali lagi Maaf jika aku dianggap tidak punya Nasionalisme. Kecintaanku pada Negeri ini bukan karena masa lalunya, tapi harapan untuk berbuat bagi masa depannya. Bagiku karya budaya bukanlah untuk di miliki satu suku atau satu bangsa saja, tapi untuk Peradaban Manusia yang lebih manusiawi.
Seperti penulis sejati yang hanya berharap tulisan mampu merubah paradigma sebanyak-banyaknya manusia. Seperti pengarang lagu yang ingin menginspirasi dan menyenangkan sebanyak-banyak orang. Seperti para penemu, yang ciptaannya di gunakan manusia berabad-abad seterusnya. Hak cipta hanya legitimasi. Tujuan termulianya adalah kehidupan manusia yang lebih baik.
1 comment:
betul tuh, pemerintah kita kurang perhatian sama seni dan budaya...
apa karena kebanyakan kali ya, jadi susah ngurusnya... hehe
Post a Comment