Wednesday, June 24, 2009

Soreku terbata-bata


Tadi sore, singgah sebentar ke Children Center Blang Beurandang. Meski sudah seminggu di Meulaboh, baru kali ini kusempatkan menjenguk karyaku ini. Bener saja, hasilnya sangat tak memuaskan. Oomar pengawas lapangannya cuma bisa pasang muka pasrah, capek dan angkat tangan mandorin tukang yang bebal minta ampun. Tapi bukan itu saja yang membuat sore ku ini mendung.

Bata-bata untuk pembuatan pagar Children Center itu, baru saja sampai. Diturunkan dan disusun ulang oleh 4 orang anak. EMPAT ORANG ANAK mengangkat tujuh ribu bata dari truk. Badannya kurus, tapi tetap riang menyusun bata-bata. Perhatian kami pun jadi beralih dari bangunan kepada anak-anak itu.

"Sekolah dik?"

" lagi libur kak".Anak itu tersenyum sambil tetap menangkap lemparan empat bata dari seorang anak sebayanya dari atas truk. Hufh..mahir sekali dia menangkapnya. Prak.. disusunnya di atas tumbukan bata yang telah tersusun setinggi dadanya. Abu lemparan bata meruap mengenai wajahnya dan menempel membedaki tubuhnya yang tak berbaju. Pastilah debu-debu itu sudah bolak balik keluar masuk ke paru-parunya. Tapi penasaranku memaksanya juga untuk berbicara sambil bekerja.

"Kelas berapa?"

"Dua SMP kak". Masih santun juga dia menjawab, meski tersirat wajahnya sedikit kewalahan menghalau debu lemparan bata menjawab pertanyaanku.

" Aduh..dik, pernahkah kamu sakit batuk gara-gara debu bata ini?

" Pernah kak". jawabnya singkat tapi tenggorokanku tercekat.

"Berapa upah untuk mengangkat bata ini dik?"

"Seribu...hehehe..." Temannya diatas pun mulai berkicau tertawa dan berkata entah apa. Tak mengerti aku bahasa mereka.
"Gak mungkin seribu perbata kan? satu bata aja harganya lima ratus rupiah". Sahutku protes.
Anak itu tertawa lagi. Anak yang diatas truk juga mengoceh kembali. entah apa. Tampaknya kedua anak itu asyik bercanda dan tampak tak ingin lagi melanjutkan percakapan dengan ku. Maka kupandangi saja mereka yang sedang berbata-bata. aih...kurusnya.

Temanku si Biar dapat informasi lebih banyak lagi, dari dua orang anak yang menurukan bata disisi truk lainnya. Mereka berasal dari suatu desa di kabupaten Nagan Raya. Sekira satu jam dari Meulaboh. Penduduk di desa itu seluruhnya memang pekerja bata. Anak-anak juga dijadikan pekerja bata. Anak perempuan mencetak bata, dan anak lelaki yang mengangkut dan menurunkannya di lokasi pemesannya. Oomar si pengawas lapangan juga mengiyakan. Hampir semua pengangkut bata di Meulaboh adalah anak-anak. Untuk jasa ini, empat orang anak lelaki itu hanya mendapat Dua puluh ribu rupiah setiap seorang.

Pernah ku dengar kisah yang sama di desa dampingan Mbak Puji di Deli Serdang, Sumatera Utara. Namanya desa Amal bakti. Anak-anak juga menjadi pekerja bata membantu menopang kebutuhan keluarga yang terjerat hutang oleh sistem yang dibangun pengusaha bata. Anak-anak itu tetap sekolah memang. Tapi debu-debu bata itu, merusak paru-paru anak.

"Pakai kain dik, ditutup hidungnya". Sapaku lagi dengan nada khawatir. Kedua anak itu masih senyum-senyum saja. Pastilah mereka menganggap angin lalu nasehatku ini. Kebiasaan buruk buruh Indonesia sudah terdidik sejak awal didiri mereka : tak perduli dengan kesehatan dan keselamatan diri.

Sore ini, empat orang buruh anak, bekerja dalam kondisi tak layak anak di bangunan untuk anak yang didirikan oleh penjuang hak anak.

ah...bisa berbuat apa pejuang hak anak ini, untuk buruh anak-anak yang didepan mata nya pun cuma bisa ngomong doank.
Ah..bisakah bangunan ini memberi harapan bagi anak ?, jika dalam proses pendiriannyapun oleh keringat anak-anak yang terampas haknya. Hak bermain, hak mendapatkan lingkungan yang sehat.
aih..aih...anak-anak bata. sampai kapan nasibmu terbata bata oleh bata-bata ini.

Karena ku tak tahu jawabnya, kusampaikanlah kisah padamu. Kisah anak-anak bata.

No comments: