Wednesday, May 27, 2009

Ekonomi Kerakyatan di sektor Perdagangan Retail = Bull Shit !

terkutip dari sebuah milist...


From: Pandji R. Hadinoto, PKPI

To: Nasional ListGroup

Cc: Garudamukha Jakarta

Sent: Sunday, May 24, 2009 11:32 PM

Subject: {Disarmed} [nasional-list] Ekonomi Kerakyatan di sektor Perdagangan Retail = Bull Shit !

AngkiHer, IA-ITB, EL79

Ekonomi Kerakyatan disektor perdagangan retail = Bull shit !

Mari kita lihat contoh berikut, khususnya perhatian kita berikan kepada
sektor perdagangan dengan rantai yang panjang dan melibatkan begitu
banyak tenaga kerja.

2500 gerai A..Mart dan 2000 gerai I..Mart tumbuh dalam waktu 10-15
tahun terakhir dan masih terus bertambah dengan pembukaan 2 outlet baru
setiap hari, merambah mulai dari daerah perkotaan hingga di pelosok
kampung. Di mulai dari Pulau Jawa dan sekarang merambah Sumatera.

Begitu banyak warung, toko kelontong, toko P&D, milik penduduk
setempat yang mati karena kalah bersaing. Yang pasti, setiap A..Mart
atau I..Mart buka dan hadir di tempat, maka warung, toko di sekitarnya
segera mati menyisakan sejumlah orang pemilik toko dan karyawannya
menjadi pengangguran dan menjadi miskin.

Kita bisa bayangkan titik akhirnya dari proses ini yaitu hampir seluruh
warung, toko P&D akan sirna digantikan oleh gerai-gerai Minimarket
Modern ini, yang hanya dimiliki oleh satu orang pengusaha besar,
sedikit saham publik (may be nanti kalau sudah IPO) dan suatu equity
venture fund asing.

Carrefour, Hypermart, Giant, raksasa hipermarket menyerbu daerah
perkotaan dan juga daerah pinggiran kota. Dengan menyajikan pelayanan
yang baik, kenyamanan, variasi produk yang beragam, harga yang murah
dan berkualitas, maka tentunya konsumen tertarik seperti laron melihat
lampu ditengah malam.

Pasar becek/tradisional di dekat hipermarket ini segera mulai sepi dan
akhirnya bisa menjadi mati. Sebelum benar-benar mati lalu muncul ide
cemerlang, dilakukanlah konversi pasar becek ini (terutama yang milik
Pemda, seperti PD Pasar Jaya misalnya) yang dipenuhi pedagang gurem
ini, menjadi pasar modern dengan gedung yang mewah dan diundanglah
anchor tenantnya: Carrefour, Hypermart, dsbnya.

Sementara para pedagang gurem, tukang sayur, los daging, los ikan,
dsbnya., untuk sedikit tujuan public relations, diberikan sedikit
tempat, dipojokkan lokasi yang tidak strategis, susah dijangkau
konsumen, dan jangan lupa hanya sebagian dari mereka yang sanggup masuk
karena harga kiosnya sudah sangat mahal dan melambung tinggi.

Begitulah caranya Pemerintah khususnya Pemda sebuah kota metropolitan
menangani ekonomi perdagangan rakyat dikotanya. Kejadian yang sama
terjadi juga dikota-kota besar lainnya, dimana pasar becek, pasar
tradisional, mati dan hancur karena kehadiran hipermarket ini.

Carrefour milik Perancis, Giant milik Dairy Farm Hongkong, Makro baru
saja diakuisisi Group Lotte dari Korea Selatan, yang lainnya yang masih
milik pengusaha lokal juga diketahui sedang mencoba untuk dijual ke
pihak asing karena sudah kekurangan modal untuk bersaing. Akhirnya,
semuanya milik asing, kita akan mempunyai apa ?

Bolehkan Modernisasi ?

Apakah tidak boleh terjadi perbaikan, modernisasi, atau berkembangnya
hipermarket disuatu tempat? Jawabannya sangat boleh, asalkan saja usaha
itu memberi social benefit yang lebih besar dari social costnya.
Misalnya, bila hipermarket itu bertumbuhkembang dari dan dimiliki oleh
orang lokal setempat, yang maju berkembang dari bawah mulai dari sebuah
warung menjadi toko, lalu dimodernisasi menjadi modern outlet yang
lebih besar. Persaingan yang adil akan memberikan pemenang yang alamiah
dan dapat diterima oleh semua pihak.

Bolehkah retail chain modern tumbuh? Tentu saja sangat boleh,
modernisasi tidak bisa dihindari, tetapi kita harus mengelola proses
transformasi modernisasi ini untuk kesejahteraan lebih banyak orang
lagi. Yang terjadi di Indonesia, proses modernisasi retail outlet ini
dilakukan dengan mengganti pemain lama lokal oleh pemain baru asing
atau lokal yang bermodal kuat dan tersentralisasi. Keduanya
bertentangan dengan konsep kerakyatan. Karena pemerataan kekayaan
terlepas dari tangan orang banyak sehingga menjadi terkonsolidasi
ditangan segelintir saja. Seharusnya, gerai-gerai A..Mart, In..Maret,
Cir..K, dsbnya ini dimiliki oleh franchisee, yang pengusaha lokal,
bekas pemilik warung setempat. Bukannya dimiliki oleh Induk
Perusahaannya seperti yang terjadi sekarang. Hanya sebagian kecil gerai
mereka sebenarnya ada dalam hubungan franchisor – franchisee.

Gerai MacDonald, Tim Horton, Burger King, Pizza Hut di Amerika Utara
sebagian terbesarnya dimiliki oleh individual penduduk lokal setempat,
sehingga kehadirannya mensejahterakan ekonomi lokal. MacDonald Corp,
induk perusahaan itu sendiri sangat profitable karena mereka memperoleh
komisi, bagian penjualan, keuntungan supply bahan baku dari usaha
franchiseenya. Nah kalau di Indonesia, pemegang Master Franchisornya
KFC, Pizza Hut, McDonalds, dsb. sangat pelit membagi franchise storenya
kepada individual pengusaha lokal, semuanya dikuasai dan dimiliki oleh
Master franchisornya, jadilah dia kaya sendiri. Orang lain, pengusaha
lokal tidak kebagian apa-apa. Pertanyaannya apakah kebijaksanaan
pemerintah dalam mengatur perdagangan ini bersifat kerakyatan ?.

Sistem ekonomi ini bekerja seperti vaccum cleaner, uang dari daerah
disedot ke Jakarta, lalu kalau Perusahaan itu milik asing, dana
keuntungan jadi disedot keluar negeri. Kita dapat apa ?

Akibatnya

1. Membunuh Industri kecil.

Kenaikan Buying Leverage dari pembeli besar (Chain Hipermarket, Chain
Minimarket) terhadap para produsen akan membunuh perkembangan industri
kecil. Akibat daya beli terkonsolidasi yang besar dari raksasa retail
ini, para pemasok barang terutama mereka dari industri kecil, yang
tidak memiliki daya tawar yang seimbang akan sangat dirugikan. Mereka
ditekan habis dalam hubungan dagangnya. Sudah sangat banyak bukti,
termasuk kasus-kasus yang saat ini sedang diselidiki oleh KPPU, yang
menunjukkan bahwa trading term (syarat perjanjian pemasokan barang)
merugikan hubungan usaha dagang dan dalam jangka panjang akan
mengakibatkan dampak lebih luas terhadap perkembangan industri
nasional.

2. Terbentuknya struktur ekonomi yang tidak sehat yang ditandai juga
oleh konsolidasi kekuatan pada sisi supply (produsen) yang akan jatuh
ketangan pengusaha besar, dikarenakan mereka mampu menandingi kekuatan
membeli (buying power) retail chain modern ini.

3. Terjadi pemiskinan akibat terlepasnya kekayaan (wealth) dari tangan
ratusan ribu pemilik toko, warung, kios, los di pasar, jatuh ke tangan
segelintir orang, terutama asing, yang bermodal kuat. Ini akan
mengakibatkan kenaikkan angka kemiskinan, terlepasnya kesempatan kerja,
dan permasalahan sosial lainnya. Adalah ilusi yang mengatakan bahwa
retail modern menciptakan lapangan kerja. Nyatanya, modernisasi itu
disertai oleh economic of scale dan kenaikkan efisiensi, yang dapat
dibuktikan dengan berkurangnya tenaga kerja yang dipekerjakan oleh
sektor retail modern dibandingkan dengan sektor retail tradisional
(non-modern) .

Saya jadi bingung, kita ini sudah kalah disektor manufakturing, eh perdagangannya juga diserahkan kepada asing.

Bukannya kita menerapkan Negative List dan menerapkan Barrier Bersyarat
terhadap masuknya kekuatan besar yang merugikan, kita malahan membuka
lebar-lebar pintu untuk masuknya predatory behaviour kedalam sistem
ekonomi kita. Indonesia takut oleh WTO ?, Kenapa kita mesti takut
dibilang tidak fair !

USA, biangnya perdagangan bebas dan Mbahnya Kapitalisme saja menerapkan
barrier yang tegas-tegas. Kita lihat bagaimana barrier sangat tinggi
dipasang oleh USDA untuk melindungi pengusaha lobster di Gloucester, MA
dari serbuan lobster dari Peru misalnya. State Government dengan strict
melarang penggunaan barang import dalam proyek-proyek yang menggunakan
dana stimulus US$ 700 Milyar, sampai-sampai Canada sewot dan marah
karena perjanjian NAFTA terang-terangan dilanggar USA. Belum lagi saat
CNOOC mencoba untuk membeli perusahaan minyak America UNOCAL, Congress
langsung membloknya.

Jelas sekali kita lihat bahwa wajah perekonomian Amerika sangat pro dan
melindungi ekonomi dalam negerinya. Mereka sangat menjaga harmonisasi
penyebaran pendapatan. Tidak ada persaingan “Super Liberal” dan “Hukum
Rimba” seperti di sektor perdagangan di Indonesia ini.

15 Tahun adalah masa pemerintahan Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati,
dan SBY-Kalla. Semuanya berkuasa dan memiliki andil sedikit banyak pada
terjadinya proses kerusakan ekonomi kerakyatan ini. Sekarang mereka
yang berkompetisi untuk jadi Presiden RI 2009-2014 semuanya berbicara
ekonomi kerakyatan. Mana bukti track record bahwa mereka pro ekonomi
kerakyatan ?.

Salam, Jakarta 23 Mei 2009.


No comments: