Wednesday, May 20, 2009
Tanah tabu, Potret Tanah Air
Tentulah penuh tantangan menulis buku dari sudut pandang seorang anak. Keluguannya, kesederhanaan dan kejujurannya melihat tempat tumbuh kembangnya, seringkali mengingatkan orang dewasa pada hal yang telah dianggapnya sepele. Seting cerita di Papua juga membuatku terbayang eksotisme kehidupan yang jarang kutemukan terungkap dalam novel. Hal inilah yang membuatku tertarik membaca buku ini.
"Di ujung sabar ada perlawanan. di batas nafsu ada kehacuran, dan air mata hanyalah untuk yang lemah"
Sebenarnya cerita novel ini penuh dengan kesuraman. Sesuram warna kulit orang-orang di lembah baliem, papua/irian. Kisahnya pun ditutup dengan kesuraman pula. Namun dengan sudut pandang anak, dan 2 ekor binatang teman setia membuat cerita ini menarik hingga membiusku agar tak melepaskannya sampai usai membacanya dan segera meresensinya.
Novel ini memaparkan keadaan perempuan di ujung timur Indonesia sana. Dimana Perempuan sejak dini diberi mimpi menikah, dan mengabdi pada suami dan keluarga...hanya itu!.
Melalui Mabel, yang sempat berkelana keluar dari kampung halamannya, novel ini seolah menegaskan bahwa kondisi ini ada dimanapun. Tersirat saat Mabel menyatakan keinginannya untuk sekolah kepada orang tua angkatnya, Tuan Piet_ si orang Belanda. Mabel mendapati kenyataan bahwa posisi perempuan tetap saja di persiapkan untuk urusan sumur dapur dan kasur meski di ligkungan paha putih sekalipun.
Novel ini juga bercerita kejamnya kapitalis yang menjadikan papua buruh di tanahnya sendiri. Bercerita tentang militer dan politik yang (dalam novel ini) selalu menyengsarakan dan memiskinkan rakyat. Mabel, menantu dan cucunya yang hidup menyewa rumah di tanah nenek moyangnya sendiri. Untuk sekedar dapat makan ayam, roti atau keju pun bagai meraih cita-cita yang akhirnya tak juga kesampaian.
Kebencian Mabel pada Pertambangan Emas _ sampai disini aku jadi teringat kasus yang serupa di Dairi sana :(, yang merusak sungai, pohon sagu, dan memabukkan para lelaki mereka, serta Kebencian Mabel terhadap Politisi dari suku asli papua yang justru menjual tanah nenek moyangnya kemudian mengakhiri kisah Mabel dalam penyiksaan. Yang tersisa hanya harapan. Harapan pada sang cucu, si Kecil Leksi. Pesan Mabel, Sekolah lah..dan rubah lah nasib suram negerimu.
Yah..Anak adalah harapan. Hanya harapanlah yang menjadi nyala agar tetap bertahan dalam suramnya hidup.
Entah disengaja atau tidak oleh penulisnya_kebetulan perempuan, tapi nyaris tak ada tokoh lelaki yang baik di novel ini. Satu-satunya mungkin hanya Tuan Piet_ si orang Belanda, yang menjadikan Mabel anak piaraan dalam keluarganya. Selebihnya, lelaki disini hanya berperang, mabuk dan memukul istri.
Lelaki yang gagah menaklukkan alam, tapi tak sangup menopang beban keluarganya.
Iseng-iseng aku menghitung umur Pum dan Kwe, si Anjing dan Babi teman setia tokoh cerita ini. Pum menemani Mable sejak usia 11 tahun, sampai punya cucu yang sudah sekolah. Hmm... adakah anjing berusia sampai 20 tahun?.
Yap..Seutuju!. novel ini memang pantas jadi pemenang sayembara novel DKJ 2008.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment