
Wanita itu menatapnya nyalang. Sang Kepala Desa benar-benar resah. Tak pernah dia seresah ini. Sungguh semakin lama dia tak suka perempuan ini. Terlalu banyak maunya. Ide-ide nya di rapat-rapat desa seolah mengejeknya sebagai Kepala Desa yang hanya menunggu gaji bulanan. Selama ini semua tokoh masyarakat dan agama di kampong ini menaruh hormat padanya. Semuanya bisa di kendalikannya. Tapi tidak wanita ini.
“ Jadi mau Ibu apa sebenarnya?”. Sang Kepala Desa coba menguji kembali kekerasan hati Ibu yang duduk dengan tegak di depannya. Gurat wibawa perempuan ini membuat dia enggan menikmati kecantikan yang masih kentara di wajahnya.
“ Permintaan saya sederhana Pak. Kenapa Bapak masih mencoba berdalih lagi?,
Kita butuh jembatan ke kampong seberang,
Agar anak anak lebih mudah kesekolah,
agar sayuran cepat sampai kepasar.
Kalau Bapak tidak bersedia mencari cara agar jembatan itu tersedia, saya dan teman teman saya tidak akan tinggal diam”. Tegas perempuan itu dengan Nada yang lebih terdengar seperti ancaman.
Ups..perempuan ini benar benar memancing egonya. Bisa apa perempuan ini jika ia tidak menggubris permintaannya.
Kepala Desa merutuk dalam hati dan berkata,
“ Baik, Saya lihat apa yang bisa Perempuan lakukan”. Ketusnya tajam dan sinis.
Perempuan itu sontak berdiri. Terlihat jelas dia kaget dengan kata terakhir yang terucap dari Sang Kelapa Desa. Kata “perempuan” yang terucap itu seolah meremehkan tidak saja dirinya saja, tapi memberikan stempel tak berdaya di jidat semua perempuan. Meski sedikit merasa bersalah setelah menyadari jika reaksi Sang Kepala Desa itu muncul karena ancaman yang di picu dari dirinya sendiri, tapi ego perempuan itu juga tersinggung. Rasa letih dan butuh mendesaknya untuk menyatakan sikap perang kepada Kepala Desa.
Si Ibu bangkit dan keluar dari kantor desa itu dengan kesal.
“Pfff….”
Sang Kepala Desa menarik nafas lega. Tapi resah tak juga terusir. Ibu Masitoh nama perempuan itu. Tamatan Sarjana yang demi suaminya rela tinggal di desa, sejauh lima belas kilometer dari Ibu kota kecamatan dengan jalan berbatu khas perkebunan. Sebenarnya jika jembatan yang memisahkan desa ini dengan Kampong seberang terbangun, jarak Ke Ibu kota Kecamatan hanya 3 kilometer.
“Tapi membangun jembatan tak semudah yang Ibu bayangkan”. Gumam Sang Kepala Desa.
Dana pembangunan jembatan itu sebenarnya sudah 10 tahun yang lalu diajukan oleh desa. Tapi perubahan politik dari orde baru ke reformasi, membuat dana-dana pembangunan ini sulit dilacak kemana raibnya. Politisi sibuk menjaga posisinya, lupa jika sarana tak tersentuh untuk diperbaiki apalagi di bangun baru. Yang terbangun di desa itu hanya pacak-pacak jembatan yang tak selesai. Dana disunat raib entah kemana.
----
Ibu Masitoh mendorong Sepeda bututnya keluar dari Kantor Desa. Singgah ke pasar membeli bekal untuk di masak di rumah. Sungguh dia tak habis pikir kenapa Kepala Desa tak juga meloloskan permohonannya. Dia berniat mengumpulkan para Ibu sekitar rumahnya sore nanti.
Sudah dua tahun dia merintis kebun sayuran dengan pupuk organic dari ternak kambing yang juga di kelola oleh para Ibu. Jembatan itu dibutuhkan agar sayuran bisa cepat sampai di pasar kecamatan. Dan tentunya anaknya Sani, yang menjelang SMP sebentar lagi bisa lebih mudah mencapai sekolah nya yang hanya ada di kecamatan.
Para lelaki di Desa itu biasanya bekerja di menderes getah karet atau mendodos buah sawit di perkebunan. Jembatan bagi para lelaki hanyalah tugas pemerintah memikirkannya ada. Jika pemerintah belum membangun jembatan, itu berarti memang desa mereka belum layak di bangunkan jembatan. Tak perlu di permasalahkan.
Tapi Ibu Masitoh beda. Dia selalu berbuat hal-hal yang menurut mereka tak perlu di pikirkan oleh masyarakat. Memperbaiki parit, membangun kelompok para Ibu dan terakhir ngotot melanjutkan pembangunan Jembatan.
Ibu Masitoh sering di cap terlalu ambisius sebagai perempuan dan penduduk pendatang di desa tersebut. Hanya saja, latar belakang pendidikan si Ibu yang Sarjana, dan kelompok para Ibu yang dipimpinnya terasa membantu mengurangi beban para Lelaki sebagai pencari penghidupan keluarga, maka mereka membiarkan saja. Menolak tidak, membantu pun tidak.
Sore itu, Ibu Masitoh berharap keluh kesahnya terbantu dengan ide saran dari Ibu-ibu lainnya. Tapi tak ada yang bereaksi. Semua malah semakin putus asa.
“ Sudah lah Ibu Masitoh, buat apa kita harus memikirkan jembatan buat mengantarkan sayur sayur kita lebih cepat. Ternak kita sudah cukup maju. Sudah lah kita seriusi aja di ternak kita”.Komentar kebanyakan para Ibu
Ibu Masitah hanya diam. Dalam hatinya yang masgul tekadnya justru semakin bulat. Masih terbayang sengitnya dia bertekak dengan Kepala Desa pagi tadi.
“Saya akan bangun jembatan”. Tegasnya.
Pertemuan sore itu usai dengan tanpa hasil.
---
Hampir satu minggu Ibu Masitoh tak bisa tidur memikirkan jembatan. Suaminya hanya bisa mengatakan bahwa membangun jembatan terlalu muluk jika dilakukan secara swasembada. Dia hanya memberi saran, mungkin tak harus jembatan. Ibu Masitoh merasa saran suaminya malah memberikan kebigungan baginya. Sampai satu malam dia dapat ide sederhana dari saran suaminya tersebut.
Diutarakannya niatnya pada para Ibu Kelompok. Dengan kemapuannya meyakinkan selama ini dengan mudah ide tersebut disetujui. Mereka sepakat membangun Getek sebagai transportasi ke kampong seberang. Mereka lalu menghitung biaya pembangunan, menyesuaikan dengan Kas Kelompok, dan..Kurang.
Tapi bukan Ibu Masitoh namanya jika tak punya cara lain. Kampong Seberang juga di ajak bekerjasama dan menanamkan sahamnya. Beberapa pekerjaan yang tak butuh keahlian diputuskan untuk dikerjakan dengan gotong royong. Hanya untuk memasang tali pancang dan rakit Getek yang membutuhkan keahlian mereka menggunakan tukang yang berpengalaman.
Untuk dana ini Bu Masitoh meminjam dana dari seorang temannya yang berniat menjadi Caleg di pemilu yang menjelang. Meski Caleg tersebut tak mengharapkan dana di kembalikan dengan syarat, tapi Bu Masitoh tetap mempersiapkan biaya pemulangan pinjaman yang harapkan kembali dari biaya sewa para pengguna Getek.
Tak lama seminggu kemudian, desa tersebut kedatangan pekerja yang memacak di bekas sisi-sisi jembatan yang tak jadi di bangun itu. Ibu-ibu membantu mengangkat galian tanah. Para Bapak-bapak yang semula enggan membantu, lama kelamaan merasa risih. Mereka pun akhirnya turun tangan membangun pondok bamboo tempat menunggu getek. Sebuah lapak kedai kopi sederhana juga dibangun untuk di kelola sebagai pemasukan kelompok para Ibu. Setelah tali penghubung ke kampong seberang juga selesai, Bu Masitoh dan kawan-kawan membuat acara selamatan dan mengundang Kepala Desa.
Selamatan itu sekaligus mengingatkan kemenangan Bu Masitoh atas siratan genderang perang pada kepala Desa dulu.
Kepala desa datang dengan wajah pucat pasi. Tak senang sama sekali. Bukan karena kalah perang, tapi…
Sebulan kemudian, tersiar kabar tentang pembangunan jembatan yang tak rampung itu. Sang Kepala Desa terlibat…. Apalagi jika bukan korupsi. Kepala Desa pun lengser.
---
Tujuh tahun kemudian jembatan idaman Bu Masitoh terwujud. Gagah melintang diatas Sungai. Dibangun bukan dari dana pemerintah juga, tapi dari tabungan kelompok para Ibu yang di dapat dari warung kopi dan getek.
No comments:
Post a Comment