
Heboh tentang dugaan Adam Malik angota CIA, membuatku penasaran dengan biografi tokoh nasional ini. Kelahiran Pematang Siantar. Pernah sekolah di Langkat. Dan ada hubungan dengan Malaysia???.
baca..baca..baca..tersandung lah aku pada usia berapa tokoh ini mulai terjun di masyarakat. Catet...Usia 17 sudah jadi ketua Partindo di kampungnya, Pematang Siantar. Sekali lagi 17 Tahun!.
Beliau juga tak menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Hanya tamatan setingkat SD (HIS) saja dan OTODIDAK. Tapi kemampuan diplomasinya membuat karirnya meroket sampai di puncak kekuasaan Indonesia. Bahkan bisa untuk gigi di dunia internasional sebagai Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York.
Nah..kenapa pula di saat ini, kita yang telah menempuh SD, SMP SMA, Es Satu sampai es Teler tapi tak banyak yang sekaliber diplomasi Adam Malik?.
Hmm.. menurutku jawabannya, adalah pengalaman berorganisasi. Pengalaman berpolitik.
Adam malik pada usia 17 tahun, yang mana menurut kesepakatan Internasional dalam Konvensi Hak Anak, masih di sebut sebagai ANAK, sudah menjadi Ketua PARTINDO. Posisi ketua menunjukkan bahwa ada posisi yag dilaluinya sebelum menjabat ketua. Posisi ketua juga menunjukkan kematangan berorganisasi.
Maka bandingkanlah Proses pendidikan Adam Malik dengan pendidikan anak Indonesia di masa sekarang. Dimanakah Anak Indonesia saat ini pada saat mereka berusia 17 tahun?.
Lalu masyarakat pun tersihir dengan titel master -master yang dibawa oleh tamatan luar negeri. Menganggap produk luar lebih baik dari produk pendidikan Indonesia.
Dalam dunia partai pun melihat tamatan Es satu lebih baik dari keluaran pendidikan di bawahnya. Caleg-caleg memamerkan rentetan titel di namanya.
Siapakah yang memulai kotak-kotak pendidikan ini?
Bagaimana mungkin pendidikan politik bisa didapat dari bangku-bangku sekolah dan perkuliahan yang telah lama menjauhkan diri dari kehidupan berpolitik?.
Ketrampilan Politik adalah persoalan pengalaman berorganisasi, mengambil keputusan, memahami kebijakan, melihat permasalahan, melobi, menarik perhatian masyarakat lalu memobilisai isu dan lain-lain. Semua itu di sistem pendidikan kita saat ini nyaris tak didapat, bahkan terasa di singkirkan dalam pendidikan kita. Contohnya organisasi mahasiswa yang didesak menyelesaikan bangku kuliah, dan tak menghargai aktifitas organisasi mahasiswa sebagai nilai tambah.
Nah..kalau sudah begini..
Slogan yang terdengar menjelang pemilu 2009: "Saatnya yang muda yang memimpin", cuma hanya jadi slogan.
Karena karena disadari atau tidak, Anak Indonesia, Pemuda Indonesia, telah tersistemkan sejak lama,tepatnya sejak orde baru berkibar untuk tidak Berpolitik!. Untuk tidak muncul sebagai pemimpin Indonesia sekaliber para founding father Indonesia.
2 comments:
Ada lagi tokoh yang sejak muda sudah berkecimpung di dunia aktivisme politik. Semaun, pada umur 16 tahun telah menjadi ketua SI (Sarekat Islam) cabang Semarang, terlibat dalam beragam aktivitas radikal di era awal Kebangkitan Nasional, dan pada usia 20 tahun mendirikan Perserikatan Komunis di Hindia, lebih populer singkatannya PKI, partai komunis pertama di Asia, bahkan mendahului Cina (Mao). Banyak lagi anak-anak muda sezamannya, seperti Marco Kartodikromo, pendiri asosiasi jurnalis independen pertama yang progresif, beberapa kali ditahan pemerintah Belanda atas tuduhan delik pers, mungkin seperti AJI di masa Orde Baru. Banyak dari pelopor Kebangkitan Nasional, dari Tirtoadisuryo, dr. Sutomo, Tjipto Mangunkusumo, sampai generasi berikutnya seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Amir Sjarifuddin, adalah anak-anak muda. Mereka-mereka yang kemudian berkiprah di lapangan politik kekuasaan selama dan pasca-Revolusi Kemerdekaan 1945-1949. Orde Baru-lah yang kemudian memberangus kaum muda, meskipun ia dilahirkan oleh gerakan mahasiswa '66, tapi kemudian dibungkam dengan peristiwa Malari '74. Tapi kaum muda pulalah yang menumbangkan kediktatoran Orde Baru, para aktivis era 90-an, yang menemukan momentumnya dalam Reformasi '98. Apakah sekarang kaum muda bisa memberi tawaran baru dalam kesumpekan sistem politik kaum tua pasca-Reformasi, katakanlah melalui jalan Pemilu 2009, mungkin sebuah eksperimentasi parlementarian belaka. Apakah mereka mampu tampil secara independen, ataukah justru terkooptasi oleh politik mainstream, masih menjadi hipotesis.
thanks buat masukannya.
Post a Comment