Suatu hari aku sempatkan menjenguk Yusuf Dkk. Ketua Umum badko HMI Sumut beserta beberapa pengurus dan adik-adik komisariat yang ditahan karena berlaku anarkis saat aksi memprotes film Fitna di Konjen Belanda.
Yusuf mengeluh, betapa sulitnya mengontrol para peserta aksi dalam aksi Fitna di Konjen Belanda. Dan, mereka yang anarkis adalah orang-orang yang dikenal Yusuf sebagai kader HMI. Tak habis pikir, aku bertanya ke Yusuf kenapa bisa sampai chaos begitu. Yusuf dengan gaya nya yang khas, tetap tertawa sesusah apapun, menjawab, Aksi kita tidak menarik perhatian Kak, jadi cara teman-teman seperti itu. Anarkis.
Aku cuma komentar dalam hati, tak tega meyakinkan Yusuf, karena bagaimanapun, menurutku, aksinya tetaplah salah. kenapa?
1. Terlalu naif mengandalkan keamanan aksi kepada pihak Kepolisian. Meski hal tersebut adalah tanggung jawab mereka,
Hey...sadar gak sih, ini Indonesia, abdi negaranya tak punya inisiatif untuk bekerja dengan prestasi, yang penting gaji bulanan tetap lancar. Menjaga aksi tetap aman, atau membiarkan rusuh, tidak akan mempengaruhi jumlah gaji mereka yang di terima bulan ini.
2. Aksinya memang salah alamat
3. Lebih salah alamat lagi, aksi dengan anarkis.
Jelas-jelas film Fitna, bukanlah keluaran negeri Belanda, tapi oknum yang kebetulan warga negara Belan. Lagi pula, negara tersebut, secara resmi, menolak pembuatan film tersebut. Hal yang membuat wilder gusar dan kemudian meng-uploadnya di internet.
Pelajaran penting yang harus di petik HMI dari kasus ini, agar jangan SEKEDAR bicara solidaritas sesama kader, hingga seluruh cabang di Indonesia diminta aksi bersama untuk memperjuangkan nasib Yusuf Dkk, dan Ketua Umum PB HMI yang flamboyan itu, mondar-mandir ke setiap elemen untuk membantu selamatnya Kader tersebut.
Bidang-bidang eksternal HMI harus menyusun format Aksi HMI.
Sebuah gaya, ciri khas HMI dalam melakukan Aksi turun ke jalan. Aksi yang beda dengan aksi buruh, tukang becak, apalagi aksi premanisme. Aksi yang mencerminkan unsur-unsur yang ada dalam HMI, yaitu : Keintelektualan, ke-Islamannya dan ke-Indonesian/nasionalisme.
Aku melihat ada kecenderungan atau sebuah steorotip yang terbentuk di dalam kader bahwa dalam aksi harus ada anarki. Dan sah-sah saja terjadi jika aksi yang dilakukan tidak di tanggapi oleh berbagai elemen yang terkait. Kecenderungan ini tak mengherankan jika kita melihat sejarah aksi mahasiswa yang membuahkan hasil seperti contoh yang terdekat, turunnya Soeharto pada dahun 1998. Aksi biasanya justru membuahkan hasil ketika terjadi chaos. Hal ini karena perhatian dan empati masyarakat tertuju pada aksi mereka. Dan itulah sebenarnya target dari sebuah aksi, dimana publik ambil peduli terhadap kondisi yang ada.
Bisakah membangkitkan empati dan kepedulian masyarakat tanpa chaos, tanpa darah yang tumpah, tanpa kehilangan kebebasan?
ini tantangan untuk HMI.
Format Aksi yang ditanamkan melalui sistem perkaderan HMI, sehingga ketika ada aksi yang sangat dadakan sekalipun, kader HMI tetap lah kader yang menunjukkan ciri khasnya dalam berjuang. Terutama menjadi Kader yang mampu mengendalikan dirinya agar tidak anarkis.
Semoga, kasus ini benar-benar menjadi pelajaran untuk perbaikan di HMI.
Semoga Yusuf dkk. segera lepas dari status tahanannya.
No comments:
Post a Comment