Rumah sakit selalu menakutkan ku. Bagi ku rumah sakit, justru bukan memberikan kesembuhan seperti yang dijanjikannya, tapi memberikan rasa sakit, memperlama rasa sakit itu, sampai akhirnya pasien menyerah untuk sembuh ataupun berpulang. Bau obat-obatan dimana-mana, wajah sendu dan terkadang tangis. Aku tidak tahan melihatnya.
Lelaki ku juga sangat membenci rumah sakit. Bukan saja karena suasananya. Tapi memang pelayanan rumah sakit justru memperlama keadaan sakit itu sendiri. Pernah dia sekedar iseng, mendata seluruh rumah sakit di kotaku Cuma membuktikan bahwa Rumah sakit adalah rumah yang membuat lebih sakit.
”Kau akan terkejut melihat hasilnya!. Katanya saat itu. Lelaki ku yang berwajah lembut itu, bagitu mempesona jika sedang di balut ambisi. Tenang dan meyakinkan. Diuraikannya data antara tingkat kesembuhan, dan kematian di rumah sakit itu. Bahkan rumah sakit paling bergengsi sekalipun tak lepas dari keboborokan pelayanan yang menyedihkan.
” Bersiaplah, jika masuk rumah sakit. Rumah yang akan membuatmu lebih sakit”. Kami tertawa miris saat itu. Membayangkan perih penderitaan di dalamnya. Persis saat ini.
Aku menatap lelakiku yang terbaring tak berdaya. Mata tetutup pasrah. Biarkan jarum infus yang menghidupi diri. Terlihat sangat menderita. Seperti juga aku.
Ku lawan rasa tak suka ku, pada bangunan putih dan bau obat ini. Ku lawan pula rasa perih, tepat di ulu hatiku. Berdenyut, perih nian menatap wajahnya. Wajah yang selalu kurindukan. Sekaligus menyakitkanku.
****
“ Maaf” lirihku. Kutatap matanya, bagian dirinya yang paling kusuka. Lentik bulu mata, dan warna matanya yang terang. Sisi feminim, dari sosok lelaki yang terpaksa oleh sistem untuk menjadi sang maskulin.
Mata lentik, itu masih tampak lembut dan hangat, tapi sinar mata yang terang itu terang seperti bara. Dia marah. Marah dari hati. Dan aku…entah menyesal atau tidak…tapi aku gelisah.
“ Aku selalu memaafkan mu”. Jawabnya tenang seperti biasanya. Dan aku terperangah tak percaya.
“ Benarkah?”.
“ Terus terang aku terluka, tapi ya…aku gak tau mengapa, mungkin hanya karena ada rasa nyaman selalu di sampingmu. Andai luka selalu kurasa-rasai, tak mungkin aku ada di sini bersamamu”.
Lamat-lamat ku pandang wajahnya, kuresapi setiap kata yang terucap dari bibirnya.
“ah…dia terluka” batinku. Kenapa sampai ku begitu tega menyakiti lelakiku. Satu-satunya lelaki yang begitu peduli padaku. Justu selalu kubalas dengan ketidak pedulian.
” Bisakah kita perbaiki lagi?”tanyaku.
” Aku merasa semakin goyah akhir-akhir ini. Aku sungguh butuh dirimu. Bantu aku. Kumohon?”. Ups...sejak kapan aku menghiba? Aku perempuan tangguh Yang selama ini berpantang menghiba pada lelaki manapun. Tapi kali ini ku menyerah kalah. Pada lelaki bermata bara. Ah...Cukuplah kekalahanku ini kusimpan dalam hati. Kekalahan bahwa aku takluk pada lelaki ku ini.
Lelakiku itu tersenyum. Pahit. Meski pahit, wajahnya seindah rembulan. Mungkin Ia merindu masa-masa bersama dulu. Mungkin.lalu dia berkata, pelan, nyaris berbisik.
” Hatiku masih sakit”.
Aku panik.
” Kalau begitu, bagimana aku mengobatinya?”
Dia mendesah. Aku resah.
” Entahlah...mungkin bersama waktu dia akan sembuh dengan sendirinya”.
Aku mengangguk pelan. Mengerti, mungkin.
” Baiklah, biarkan waktu yang menyembuhkan kita berdua”.
Malam itu lelaki itu pamit. Satu kecup di kening, lentik mata merindu, dan luka hati yang tak sembuh.
Seminggu, sebulan, sewindu, tiada kabar. Satu kabar pun tidak. Bahkan desau angin langkah tiada terdengar.
Ahk tidak...
Aku tidak bisa terima kekalahan ini. Kekalahan bahwa perempuan ini harus merindu pada lelakiku. Lelaki feminim, yang mudah terluka, dan suka meratap.
Kini malah aku, si perempuan maskulin yang terdampar. Dalam melankoli cinta yang cengeng. Aih...aih..sungguh ku malu. Tapi inilah hatiku. Tampaknya kuat sesungguhnya rapuh.
Sangat rapuh.
****
Kuletakkan mawar Kuning di sisi lelakiku. Ah...Jahatnya aku. Bahkan sekian lama kita bersama, tiada kutahu warna kesukaanmu. Ya..Aku memang tak seperti dirimu.
Waktuku habis sudah. Aku harus pergi.
Kini hati ku merutuk menatapmu. Jangan kan kabar, kala bersua begini pun kau tak sudi memandangku.
Kukecup kening lelakiku. Kecup kerinduan dan amarah.
Selamat Tinggal!.
****
Pintu Kamar rumah sakit itu benar-benar tertutup. Langkah kaki telah tak terdengar lagi. Mata lentik itu mengedip, membuka. Sinar matanya masih seperti dulu. Bara amarah.
Dihempasnya mawar kuning itu ke lantai. Selembar kartu tersembul diantara jepit rekah mawar.
” Lelakiku...kau siksa aku dengan rasa acuhmu, Kau tinggalkan aku sendiri terluka menanti dalam rumah mu. Maka ku rumahkan kau disini. Sendiri. Agar kau tahu sakitnya selama ini kau tinggalkan. ”
****
Di luar, Perempuan itu melangkah terburu-buru. Bau Rumah sakit membuatnya mual, suara-suara sedih dan wajah-wajah sendu, berhadap-hadapan. Tapi Perempuan itu tersenyum. Ada rasa puas hadir sesaat. Luka terbalas sudah. Luka di balas luka.
5 comments:
Sesungguhnya gurat meranggas cerminan diri ini milik siapa ya? Bias banget, scary!
latihan bikin cerita versi scary Abah. :P
berhasil gak ya?
Hehe, berhasil kok Pera. Bayangin aja [[ Bau Rumah sakit membuatnya mual, suara-suara sedih dan wajah-wajah sendu, berhadap-hadapan.]] lama2 sebutan RS akan menjadi RG deh. Bayangin juga kualitas losmen kelas 3 tarifnya senyaris hotel bintang 4. Gimana gak membikin keluarga pasien jadi scary coba?
Apalagi yang ini [[Tapi Perempuan itu tersenyum. Ada rasa puas hadir sesaat. Luka terbalas sudah. Luka di balas luka.]] Tentu saja akan mengkirik seluruh buluroma, klo saja yang nulisnya Melanie.
[[Dihempasnya mawar kuning itu ke lantai. Selembar kartu tersembul diantara jepit rekah mawar.]] Wow Pera, mahluk manapun asal jangan dari planet Mars. Matanya tentu akan melotot, dada terhempas dengan sesak, airmnata bercucuran. Ato airliur berhamburan sambil memegangi bilah dada kerempengnya. Lalu jatuh menggeloso. Pingsan!
Post a Comment