Aku masih ingat suatu sore di beranda rumah kami. Ibuku, dengan sinar mata nya yang bergejolak, mengungkapkan keinginannya untuk naik haji.
“Sejak Ibu kecil Ibu punya cita-cita naik haji, Berhubung tabungan Ibu udah cukupan, dan lagi, kalian udah besar besar Ibu pengen naik haji”.
Naik haji memang cita-citanya sejak kecil. Konon, suatu hari ketika ia melewati rumah paling besar, milik pak haji, dikampungnya dulu. Ditengah-tengah kekagumannya akan kemewahan dimatanya terbersit tekad, untuk naik haji jika saja ia jadi orang kaya.
Entah kenapa aku hanya tertawa ketika Ibuku menceritakan cita-cita masa kecilnya itu, ada keluguan yang terbersit dari ungkapan wanita tua itu, walaupun begitu, aku kagum padanya.
Cita-cita Ibuku memang bukan hanya sekedar untaian keinginannya saja, di usianya yang dikatakan “ulang tahun emas”, akhirnya cita-citanya terwujud juga.
Sudah menjadi tradisi yang ada didaerahku, acara syukuran pun diadakan untuk menghiasi baik ketika mengantarkannya pergi dan menyambutnya kembali. Kesibukan yang tersendiri bagiku menjadi orang tua tunggal bagi adik-adikku, tetap tegar walaupun banyak masalah yang kuhadapi sendiri, tetap teguh walaupun rasa kangen dan was-waku pada Ibuku begitu menyiksa. Dan aku begitu gembira ketika menyambut kedatangannya kembali dari tanah suci.
Seandainya aku dapat menggapai cita-citaku seperti Ibuku, tentulah aku akan gembira, dan kuberitakan kepada dunia bahwa aku telah sampai dipuncak keinginan yang telah lama kutata agar teraih.
Tetapi tidak pada Ibuku, begitu murungnya wajahnya, setelah memperoleh gelar Hajjah. Setiap selang waktu dihabiskannya untuk sibuk dimasyarakat, pengajian disana sini, membaca begitu banyak buku, dan sekali-kali mencoba menjadi pembicara.
Perubahan drastis pada Ibuku benar-benar menggelitik, tidak biasanya ia begitu memperdulikan orang-orang disekitarnya. Aku masih ingat sekali hari-hari sebelum gelar itu melekat didirinya, dia wanita yang giat mencari nafkah, tidak ada waktu untuk kehidupan sekitar rumahnya, setiap waktu yang tersisa hanya demi kedai kecil kami. Demi uang dan anak-anaknya.
Dan sekarang Ia bagai sosok yang tidak kukenali lagi, begitu putih dan suci dengan semua keinginan barunya.
Pertanyaan-pertanyaan yang ada kian menggelitikku. Suatu hari kutemui ia yang sedang asyik membaca diberanda rumah. Dan tercetus jawaban dari raut wajah yang keriput itu. Sederha
Seandainya aku dapat menggapai cita-citaku seperti Ibuku, tentulah aku akan gembira, dan kuberitakan kepada dunia bahwa aku telah sampai dipuncak keinginan yang telah lama kutata agar teraih.
Tetapi tidak pada Ibuku, begitu murungnya wajahnya, setelah memperoleh gelar Hajjah. Setiap selang waktu dihabiskannya untuk sibuk dimasyarakat, pengajian disana sini, membaca begitu banyak buku, dan sekali-kali mencoba menjadi pembicara.
Perubahan drastis pada Ibuku benar-benar menggelitik, tidak biasanya ia begitu memperdulikan orang-orang disekitarnya. Aku masih ingat sekali hari-hari sebelum gelar itu melekat didirinya, dia wanita yang giat mencari nafkah, tidak ada waktu untuk kehidupan sekitar rumahnya, setiap waktu yang tersisa hanya demi kedai kecil kami. Demi uang dan anak-anaknya.
Dan sekarang Ia bagai sosok yang tidak kukenali lagi, begitu putih dan suci dengan semua keinginan barunya.
Pertanyaan-pertanyaan yang ada kian menggelitikku. Suatu hari kutemui ia yang sedang asyik membaca diberanda rumah. Dan tercetus jawaban dari raut wajah yang keriput itu. Sederha
No comments:
Post a Comment