Sebaliknya aku tak bersikap yang sama padanya, terutama di saat hari-hari terakhirnya. Maafkan aku. Saat mengantar kepergiannya tadi, aku merasakan kekecewaannya padaku. Sekali lagi...maafkan aku kawan.
Sungguh aku tak tau berbuat apa. Rasaku campur aduk, marah, kecewa, sedih, rindu, sayang semua bercampur untukmu. Aku tak mampu memilahnya. Rasa bersalah, sekaligus menyalahkanmu. Ingin mengingatmu sekaligus ingin melupakanmu. Argh....kenapa kau selalu membuatku merasa seperti ini?.
Kacau...tak kusangka aku akan merasa kehilangan sedalam ini. Apakah karena terakhir kita bertengkar hebat?. Meski sering kita bertengkar, tapi tak pernah seperti itu. Pertengkaran yang membuat arus sekeliling kita menjadi keruh. Usai perang itu entah kenapa, aku tak menempatkanmu di rak istimewa lagi. Hingga sakitmu tiba berlarut-larut dan aku terhenyak bergegas menjengukmu. Aku takut tak sempat meminta maaf.
Kurus nian kau saat itu. Tapi gurat wajah tampanmu tetap tersisa. Awalnya enggan aku mengajakmu bicara. Ada wajah Bapakku yang terbayang sakit saat itu. Aku tau..penyakitmu itu tak mengijinkanmu banyak bicara. Tapi dasar kawan lama. Rasa Kangen harus meluap.Bahkan ketika beranjak keluar rumah sakit pun masih banyak yang ingin kuceritakan. Kau juga kan?.
Aih...kita berdua begitu lama bersama. Begitu banyak cerita. Begitu banyak pertengkaran.
Aih...kita berdua begitu lama bersama. Begitu banyak cerita. Begitu banyak pertengkaran.
Tau kah kau...aku melihat dirimu yang sekarat, jauh hari sebelum hari terakhir kita bercerita itu.
Saat kita masih berpetualang bersama, menyusuri kelok-kelok bukit barisan, menapaki sawit dan rawa nipah di sepanjang pantai timur sumatera. Saat bercerita tentang kader-kader yang kita didik, Saat kita meramu setiap pelatihan agar lebih menghidupkan semangat-semangat juang. Bayangan kau yang ringkih menghantui dan menjelma dalam kata menggurui: Kawan, Jangan hidup seperti adanya. Kau harus punya cita-cita yang lebih tinggi.
Ya...Aku mengkhawatirkanmu. Itulah penyebab semua pertengkaran kita.
Saat kita masih berpetualang bersama, menyusuri kelok-kelok bukit barisan, menapaki sawit dan rawa nipah di sepanjang pantai timur sumatera. Saat bercerita tentang kader-kader yang kita didik, Saat kita meramu setiap pelatihan agar lebih menghidupkan semangat-semangat juang. Bayangan kau yang ringkih menghantui dan menjelma dalam kata menggurui: Kawan, Jangan hidup seperti adanya. Kau harus punya cita-cita yang lebih tinggi.
Ya...Aku mengkhawatirkanmu. Itulah penyebab semua pertengkaran kita.
Tak pandai aku mengungkapkan rasa. Tapi malam kita di kaki pegunungan itu...adalah luapan rasaku padamu. Rasa yang tersimpan bertahun-tahun. Begitu membebaskan. Sayang...tak akan terulang lagi.
Hari-hari esok hanya tinggal kenangan tentangmu.
Dan seonngok penyesalan
Hari-hari esok hanya tinggal kenangan tentangmu.
Dan seonngok penyesalan
Maaf tak menjengukmu di hari-hari terakhirmu
***
Untukmu sobat....kelak ingin kuabadikan dalam sebuah kisah.
Untukmu sobat....kelak ingin kuabadikan dalam sebuah kisah.
Agar kebodohanmu tidak diteruskan oleh kader-kadermu
Agar tulus pengabdianmu jadi teladan bagi siapapun.
Agar cerita seribu burung kertas bukanlah cerita tentang kematian.
Agar cerita seribu burung kertas bukanlah cerita tentang kematian.
Bantu aku ya?.
Seperti biasa..
karena kau selalu ada mendukungku.
***
Seperti biasa..
karena kau selalu ada mendukungku.
***
No comments:
Post a Comment