Tuesday, October 02, 2007

Mencari Sidodadi (3)



Pukul 15.00 kami sampai di desa kebun balok. Ternyata desa ini cukup besar. Sampai ada 3 SD di desa ini. Kami masih habiskan 30 menit mencari SD yang harus di survey. SD itu berada di punggung bukit. Kondisinya memang menggenaskan. Atap sengnya sudah berwarna coklat tua dan tampak sangat rapuh. Atap itu melindungi 4 lokal kelas di bawahnya. Salah satu lokal paling ujung atapnya malah sudah bolong. Kelas itu jelas tak terpakai lagi. Ada meja tenis teronggok disitu. Meja kursi rusak tertumpuk membukit di sudut kelas itu. Tiga ruangan dalam satu unit gedung itu tampaknya masih digunakan. Meja kursi yang tampak lapuk masih coba disusun rapi tapi tetap saja tak karuan bentuknya. Dari jumlah kursi nya tampak murid SD ini memenuhi kapasitas ruang kelas yang biasanya terdiri dari 40 orang. Antar ruangan dipisahkan dengan dinding dari tripleks yang sudah bolong-bolong karena lapuk. Lantai sudah tak bisa dibedakan lagi antara tanah dengan cor beton nya. Beberapa bagian dinding retak munuju bumi dengan lebar retak sampai 1 cm. Ini menunjukkan pondasi di bawahnya telah patah. Praktis sekolah ini sudah sangat tak layak pakai.


Andai aku tak ditugaskan untuk survey kondisi sekolah, aku mungkin hanya menganggap issue tentang banyaknya sekolah yang rusak adalah omong kosong belaka. Era reformasi sangat banyak berita yang kuanggap terlalu di lebih-lebihkan untuk menggoyang para penguasa. Tapi setelah melihat langsung kondisinya, ternyata sekolah yang kukunjungi umumnya tak pernah mengalami renovasi sejak didirikan tahun 70-80an. Tak heran jika kondisinya memang sudah tak layak pakai lagi. Kusimpulkan sejak 90-an negeri ini lebih sibuk mengurusi politik daripada pendidikan anak negerinya. Alokasi 20% APBN untuk pendidikan Cuma jadi hiasan di UU Sisdiknas, atau masuk kekantong para tikus-tikus birokrat.

Kamar mandi SD itu berisi timbunan tanah. Retak tak menentu, dan atap yang tak keruan. Menjadi anak perempuan di SD ini tentulah sangat merepotkan.
Kami beristirahat sejenak di halaman SD itu. SD itu menghadap kelembah yang terdapat banyak pemukiman. Di belakangnya adalah perkebunan karet. Pemandangan indah dari teras SD itu. Tapi jika berbalik menatap SD itu pemandangan berubah menjadi potret pendidikan yang menyedihkan.



Kami melanjutkan perjalanan dengan mulai bertanya ke penduduk sekitar letak desa Sidodadi.

“ Wah jauh sekali Dik…” ujar seorang ibu muda yang sedang menyapu halaman.
“ dari hutan karet ini lebih dekat, sekitar 30 menit sampai, tapi saya khawatir nanti kalian malah tersesat, jarang ada orang lewat sana, dan banyak persimpangan di tengah kebun”.
“ Lebih baik kalian jalan memutar dari Desa Situngkit, lebih banyak kenderaan yang lewat dan banyak rumah penduduk untuk betanya”.

“Berapa jauh jika kami dari Desa itu Kak?”. Aku balik bertanya.
“ Yah sekitar 1 jam”.

Kami berdua saling memandang. Hanya satu pilihan untuk pendatang baru, memilih jalan banyak dilalui orang agar tidak tersesat.
Usai mengucapkan terimakasih kami balik kanan menuju arah yang ditunjuk ibu muda itu. Raut wajahnya tampak khawatir. Dua orang anak gadis mencari desa terpencil di sore hari dan hujan mulai turun.

Tak lama kami meninggalkan Desa Kebun Balok. Hujan turun. Deras sederas-derasnya. Mantel hujan tak mampu menahan rembesen hujan ke bajuku. Sedangkan Ana, sudah basah kuyup sejak tadi. Dia tak mau berlindung di balik mantel yang cuma ada satu. Aku tahu dia khawatir dengan kondisi jalan. Licin dan berbatu, mendaki dan menurun. Hujan yang deras mengubah jalan tanah itu menjadi sungai kecil. Mataku perih karena terpaksa melawan deras hujan. Telapak tanganku memerah menahan beban sepeda motor. Ana berulang kali menawarkan diri untuk menggantikanku mengemudi, tapi aku tak bisa. Aku lebih khawatir berada dalam boncengan, dari pada membawa sepeda motor melalui medan yang berat.

Melewati hutan karet yang sepi di tengah hujan, memikirkan hal yang menakutkan hanya menambah beban pikiran. Sepanjang jalan kami bercanda, menertawakan diri yang sok menjadi pe-Relly. Ya… Relly itu lebih tepat menggambarkan suasana yang kami jalani.

Hujan mulai mereda di pukul 17.00 wib tepat ketika kami memaski gerbang desa Sidodadi. Kami sholat di Mesjid desa dengan baju basah kuyup. Badanku letih sekali sekaligus kedinginan.

Setengah jam kemudian kami dapati sekolah yang kami tuju. Ada 2 orang laki-laki dan seorang anak laki-laki yang sepertinya sedang berkemas pergi ke suatu tempat. Ternyata salah satunya hendak pulang ke Ibukota kabupaten.

No comments: