Sunday, February 14, 2010
Siapa yang jadi petani???
Senangnya melihat Anak-anak peserta Kampung Anak itu dengan antusias bertanya pada ibu Timo, sang Petani sayur organik. Tapi anak laki-laki itu mengasingkan diri, duduk berteduh di bawah pondokan tempat pengolahan pupuk organik. Padahal hari masih pagi. Suasana kebun amat segar, merayu untuk di sapa pandang. Tak sesuai dengan pandangan anak tersebut yang kosong, menerawang tanpa minat. Kelihatan sekali dia bosan.
Kudatangi anak itu…
“Kenapa dik?”. Kupasang wajah perhatian, sedikit membungkuk, kuperhatikan nama yang tertera di bad namanya. Irham.
Si anak langsung bereaksi gelisah. Di usapnya rambut jambulnya. Perawakannya menunjukan dia sudah duduk di bangku SMU. Harusnya dia lebih dewasa dari teman-temannya yang lebih muda. Tapi usia tak selalu diisertai dengan kedewasaan bersikap.
”Sakit kepala kak..”. jawabnya enggan.
”hmm..Irham semalam sakit kepala juga kan?”. Kusebut namanya agar suasana tidak terasa canggung. Aku baru menyadari, kalau di sesi hari sebelumnya aku juga bertemu dengan dia, dengan tingkah yang sama.
”Kalau memang sakit, harusnya Irham segera minta obat ke ruang kesehatan”. Anjurku..meski aku yakin sakitnya bukan di kepala.
”Eng... gak apa apa kok kak, gak perlu obat” Sahutnya sembari setengah beranjak menghindariku...
”Eits..tak boleh hanya sampai disini” Gumamku dalam hati.
” Orang tua Irham kerja apa?”. Mencegah gerakan anak itu yang hendak pergi, kuambil posisi duduk di sebelahnya. Anak itu memang kemudian berdiri, tapi pertanyaanku mencegatnya untuk menjauh.
”hmm...kerja buruh kak”. Ekspresi wajahnya tampak campur aduk. Antara mau menghindar atau tetap memperhatikan ucapanku.
” Pernah bertani?”
”Enggak kak...rumah kami di kota, gak ada lahan”.
”Oooh..., begitu ya..” gumamku
”Irham tahu kenapa kakak ajak melihat pertanian organik ini?”. tekadku harus meyakinkan anak tentang pentingnya sesi ini.
Irham melihat sekeliling kebun yang banyak ditanami cabe yang mulai ranum. Sebentar kemudian dia menggeleng. Pelan, dia menyeret badannya dan duduk di sisa batang pohon tempatku duduk. Berhasil..!!.teriak ku dalam hati. Anak ini mulai memperhatikanku.
”Begini Irham, dulu pada tahun 80-an...hasil sayur-sayuran di tanah karo ini hampir seluruhnya di ekspor keluar negeri. Cantik, gemuk, manis dan segar-segar. Pertanian dimasa itu sangat menguntungkan karena hasil pertaniannya dapat di ekspor”.
Kuperhatikan wajah anak itu sebentar, hanya untuk memastikan wajahnya tak menerawang bosan. Dan ternyata dia masih memperhatikan. Baiklah kulanjutkan.
” Lalu, tiba-tiba ada kebijakan dari negara tujuan ekspor tentang pembatasan sayuran asal tanah karo. Hasil pertanian dari tanah karo, masuk dalam daftar tingkat pestisida tertinggi. Sayur-sayuran dari daerah ini di tolak tak dapat di ekspor lagi. Petani kemudian menjadi tak semakmur dulu. Target pasarnya hanya bisa di daerah sekitarnya saja”. Sekali lagi kuperhatikan wajahnya, berharap sampai tahap ini dia tidak bosan. Tangannya memain-mainkan ballpointnya dan melihat ke arah kawan-kawannya yang masih asyik bertanya pada bu Timo.
” Menurutmu, siapa yang mengenalkan para petani dengan pestisida dan pupuk?.
”Apakah nenek moyang kita dulu menggunakan pestisida dan pupuk dari pabrik?”. Kuberikan pertanyaan memancing, berharap dia memang menyimak penjelasanku sebelumnya.
” Enggak Kak, dulu kan gak ada pabrik pupuk. Petani bisa menanam tanpa pupuk, pakai pupuk kandang”.
” Nah itu dia...awalnya petani, tak menggunakan pupuk dari pabrik. Tapi kemudian para petani dikenalkan dengan pupuk dan pestisida. Memang petani merasa hasil panenya lebih memuaskan ketika menggunakan pupuk dan pestisida. Namun pada kenyataanya perlahan-lahan pupuk ternyata merusak tanah. Tanah petani menjadi tak subur lagi. Lingkungan rusak. Sedangkan Pestisida kemudian membuat tanaman menjadi tak layak konsumsi, hingga tak layak ekspor. Saat ini, mendapatkan pupuk pun sulit, kalau pun ada mahal, pestisida pun sama saja. Siapa yang melakukan itu?”.
Irham menunduk..kemudian mengangguk angguk.
”Ada sistem yang telah memiskinkan petani kita. Bu Timo dan kawan-kawannya mencoba memutus ketergantungan petani dengan pupuk dan pestisida dari pabrik.
Karena sesungguhnya Petani bisa membuat pupuk dan pestisidanya sendiri. Bahannya dari alam di sekitarnya. Tak mahal, dan selalu ada.
Tapi...memang sulit merubah cara pandang petani. Petani sudah terlanjur menganggap pupuk dan pestisida dari pabrik sesuatu yang sakti untuk keberhasilan panen”. Kuhela nafas, aku jadi sedih karena ucapanku sendiri. Kuperhatikan wajah anak itu. Syukurlah, aku masih melihat dia memikirkan ucapanku.
” Karena itu kalian yang masih muda-muda ini perlu tau kondisi ini. Mungkin pelan-pelan kalian memahami kondisi petani. Langsung maupun tak langsung kalian bisa menyebarluaskan pentingnya pertanian organik di lestarikan”. Akhirnya apa yang harus kusampaikan selesai sudah. Anak menjelang dewasa biasanya akan lebih bertanggung jawab kalau sudah mengerti tujuan yang ingin dicapainya.
”Ok...Irham...kita akan bersiap-siap untuk diskusi kelompok. Tolong ajak teman-temanmu berkumpul dan duduk di tempat teduh sana”. Kutunjukkan tepian kebun yang teduh oleh bayangan pohon. Irham mengangguk dan segera beranjak memanggil teman-temannya.
Selanjutnya anak-anak berdiskusi dengan lebih terarah dan kemudian melakukan tugas kelompok. Sedikit lega karena kuperhatikan Irham menjadi lebih perduli dengan teman-temannya yang usianya memang terpaut jauh dari usianya.. Tugas kelompokpun dikerjakan dengan bekerja sama. Tak seperti kemarin dia tak mau mendengarkan ide kawan-kawannya, asyik sendiri dengan kertas kerjanya.
” Ok...cukup untuk siang ini ya?!. Ucapku menutup sesi tanya jawab mereka pada Bu Timo. ” Sekarang kakak tanya...Sulit gak jadi petani?”
” Suliittt”. Kompak mereka menjawab.
” kalau petani gak ada, kita akan kesulitan gak??
”Kesulitan”.
”Hebat gak jadi petani???”. Suara ku buat semakin meninggi. Peserta yang lain pun ikut menjawab dengan suara tinggi
” Hebaaat..”.. Hmm...peserta pada membeo semua agaknya. Berikut pertanyaan pamungkas.
“ Siapa yang mau jadi petani??”
Peserta diam...tersenyum malu, kemudian serentak tanpa ada yang menjawab berbeda.
“ Enggak Mauuuuuu...”
“ Lho...kalau semua gak mau jadi petani, siapa donk yang jadi petani???.
Kulihat Bu Timo hanya tersenyum geli.
Yang jelas siang itu dengan sederhana telah dilewati dengan mencoba merubah cara pandang tentang petani, dan pertanian organiknya. Semoga kelak profesi petani bukanlah pekerjaan yang identik dengan pekerjaan kelas rendah dan kemiskinan. Inilah harapku dengan anak-anak didikku, Bu Timo dengan para aktifis pertanian organiknya. Kami berjuang dengan cara kami masing-masing. Terimakasih atas semangatnya.... Kampung Anak.
Catatan :
Kampung Anak = Jambore Anak
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment