Sunday, January 20, 2008

Letih !

Letih !. itu yang kurasakan kini. Ah tidak…perasaan ini lebih dari Letih. Ku hirup nafas dalam-dalam, berharap rasa sesak di dada ini berkurang sedikit. Lumayan, segar terasa, darah memompa oksigen ke kepalaku. Tapi tidak cukup. Aku merasa beban di punggungku kembali meraja. Air mataku menggenang. Aku sedih sekali. Merasa sendiri dan tak ada yang mau membantuku. Beban ini hanya untukku dan tak mau pergi.

Baru saja aku bertengkar dengan sang ketua umum. Persoalannya aku merasa dia menyepelekan aku dan pengurus lainnya. Sebagai bagian dalam sebuah organisasi, aku selalu berharap, dalam sebuah keperngurusan adalah bagai satu tubuh yang saling menyokong. Ketika tangan merasa sakit, maka tubuh yang lain akan merasakan sakit. Kali ini aku merasa di puncak kekecewaan terhadap sang ketua umum ini. Rasanya dia benar-benar tidak perduli dengan kegundahan para pengurus dibawahnya. Sungguh meski hampir setengah perjalanan periodesasi kepengurusan yang kami jalani tak ada kebersaamaan yang tercipta. Kini aku merasa organisasi yang kugeluti ini tak lebih bagai sapu lidi. Semakin kebawah akan semakin tertindas, dan yang menikmati jalannya roda organisasi ini adalah orang-orang yang duduk di jejeran puncak. Dan aku tidak mau menjadi seperti itu. Organisasi ini dibangun dengan cita-cita tulus untuk kehidupan yang lebih baik, cita demi citanya tercapai karena sebuah kebersamaan, kekeluargaan yang saling bahu membahu. Kebersamaan adalah bagai pelumas mesin yang membuat perjalanan organisasi ini menjadi lebih laju dan awet.

Aku coba berbicara dengan Sang Ketua Umum persoalan konflik yang semakin tidak sehat di dalam kepengurusan ini. Belum lagi issu-issu dari luar yang seolah memojokkan organisasi ini bagaikan pelacur.

Tapi dia memang tak perduli sedikitpun. Aku bagai demonstran tanpa kuku yang berkoar-koar dengan TOA butut. Dia hanya mengangguk bagai DPR-DPR diatas sana dan berkata, nanti akan kita bahas. Namun tak pernah terwujud.

Yah.. aku menyerah saja. Aku dihimpit antara dua sisi bertentangan sungguh melelahkan. Satu sisi, aku tidak rela sikap dia dalam mengelola organisasi ini dengan menindas kepentingan staf dan mengacuhkan rakyat yang harus di bela. Satu sisi dia adalah teman baikku, orang yang kupilih dan terlanjur ku percayakan untuk memimpin roda organisasi ini lebih baik. Berharap masukanku akan membantu dia lebih baik tapi tak satu pun ideku yang pernah di dengarkannya.

Aku menyerah saja.

Ku kenakan Jaketku, ku rogoh kunci sepeda motorku di kantungnya. Sekilas kulihat sobatku Sang Ketua Umum itu asyik terkekeh dengan adegan sinetron cengeng yang rutin di tontonnya setiap malam. Aku yakin dia tidak peduli apakah aku akan pulang malam itu atau tidak. Atau bahkan berharap aku tidak perlu ada malam ini, agar kupingnya tak lagi panas dengan segala celotehku tentang semua sumpah serapah pengurus dan pemerhati organisasi ini.

Cukup. Aku letih. Aku pulang.

Saat itulah anak itu menyapa ku.

“ Kak…” satu sapa dan anggukan saja yang diberikannya, dan aku hanya tersenyum. Senyum menyambut kesopanannya kepada orang yang telah lebih dulu bergelut di organisasi yang sama. Dia sedang mengikuti proses pelatihan. Anaknya cerdas, rajin dan semangat. Ya… semangatnya ini yang membuatku terpaku saat ini.

Tangan dan kakinya hanya sampai persendian. Tinggi badannya hanya setengah orang normal. Tak ada jari. Sekilas dimalam itu dia seperti orang cebol yang harus berjalan cepat untuk mengejar waktu berjalan yang sama dengan orang yang normal. Tapi dia tidak cebol, sejenis penyakit pada orangtuanya, sehingga hanya dia yang selamat dari seluruh saudaranya yang dilahirkan sebelumnya. Itupun dalam keadaan tanpa kaki dan tangan.

Malam itu, aku melihat dia berjalan setengah berlari ke dalam forum diskusi, tak lama sibuk berdebat. Tak sekalipun terlihat rendah diri. Atau mengandalkan kecacatannya. Semua aktifitas nyaris mandiri. Dia cacat namun kemampuannya, semangatnya dan kepercayaan dirinya, membuat lingkungannya tidak melihatnya dengan rasa kasihan.

Aku tidak kasihan padanya. Aku malah kasihan pada diriku. Oh..betapa cengengnya manusia yang diberkahi tubuh yang sempurna ini. Baru menerima batu dan riak duri kehidupan sudah berniat mundur dan menyerah. Sementara anak itu…berjuang, seolah hidup tak perlu ditangisi dengan segala kelemahannya, seolah hidup adalah persoalan melakukan perubahan.

Aku menangis. Menangis yang berbeda. Dan cukup…cukup rasa putus asa ini. Aku tidak boleh menyerah. Tak kan kubiarkan organisasi ini menjadi sapu lidi. Aku harus bangunkan tubuh yang satu. Tubuh yang sedang tertidur dengan hedonisme dan budaya pop. Kubangunkan menjadi tubuh yang membenci kemapanan. Selalu berjuang untuk perubahan lebih baik. Dan aku tak boleh berhenti hanya bicara. Menuntut sang Ketua umum. Saatnya bertindak nyata.

Aku pulang..
Kali ini tanpa letih yang sama dengan malam-malam sebelumnya.
Tapi letih pada ke putus-asaaan.
………………………..

Kelak..aku bertemu banyak teman yang termotivasi setelah bertemu anak yang penuh semangat itu. Trimakasih adinda.


3 comments:

Anonymous said...

Ketua Umum Masih Seneng dan Sempat nonton Sinetron?? Ehmm...

Anonymous said...

Ketua Umum Masih Seneng dan Sempat nonton Sinetron?? Ehmm...

peranita said...

ketua umum juga manusia kan? :)